kievskiy.org

Jelajah RS Dustira, Dari Histori Hingga Misteri

PESERTA Jelajah Militair Hospitaal yang diiinisiasi komunitas Tjimahi Heritage (TH), Minggu 15 September 2019.*/ RIRIN NUR FEBRIANI/PR
PESERTA Jelajah Militair Hospitaal yang diiinisiasi komunitas Tjimahi Heritage (TH), Minggu 15 September 2019.*/ RIRIN NUR FEBRIANI/PR

BAGI anda yang berdomisili di Kota Cimahi, melewati kawasan RS Dustira dengan bangunan berdesain artdeco peninggalan zaman penjajahan Belanda di Jalan Dustira itu mungkin sudah sangat biasa. Namun pernahkah terbesit di pikiran untuk mengetahui lebih dalam sejarah bangunan tersebut?

Kesempatan itu muncul pada Minggu 15 September 2019. Jajaran RS Dustira menyambut hangat masyarakat yang ikut dalam Jelajah Militair Hospitaal yang diiinisiasi komunitas Tjimahi Heritage (TH). Uniknya, para peserta jelajah banyak yang mengenakan pakaian nuansa tempo dulu, seragam TKR/KNIL, pakaian pangsi, bahkan perempuan tak ketinggalan mengenakan kebaya dan kain.

Kegiatan dibuka dengan paparan singkat pengenalan sejarah RS Dustira dan pembangunan garnisun Belanda di wilayah Cimahi secara keseluruhan. Masyarakat pun diajak berkeliling melihat bangunan RS Dustira yang menyimpan banyak sejarah, hingga beragam cerita mistis yang mewarnai keseharian di RS Dustira.

Kepala Rumah Sakit Dustira Kolonel CKM dr Agus Ridho Utama, SP.THT-L.,MARS mengatakan, berdasarkan literatur, RS Dustira masuk 5 rumah sakit pertama yang ada di Indonesia. "Untuk Jawa Barat RS Dustira menjadi RS pertama," ujarnya.

Berdasarkan data profil RS Dustira, rumah sakit tersebut merupakan kebanggaan prajurit di wilayah Kodam III/Siliwangi yang dibangun di masa penjajahan Hindia-Belanda sebagai rumah sakit Militer (Militaire Hospital). Dengan luas tanah 14 hektar, RS Dustira dibangun untuk keperluan militer Belanda untuk mendukung kebutuhan garnisun sebagai penyangga pertahanan militer daerah Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda pada saat itu.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), rumah sakit dipergunakan sebagai tempat perawatan tawanan tentara Belanda dan perawatan tentara Jepang. Pada tahun 1945-1947 dikuasai kembali oleh NICA.

Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda tahun 1949, rumah sakit diserahkan oleh militer Belanda kepada TNI yang diwakili Letkol Dokter Kornel Singawinata. Rumah sakit ini berganti nama menjadi RS Territorium III dengan Letkol Dokter Kornel Singawinata sebagai kepala rumah sakit pertama. Tetapi pada tanggal 19 Mei 1956 pada saat perayaan Hari Ulang Tahun Territorium III/Siliwangi yang ke-10, Panglima Territorium III/Siliwangi, Kolonel Kawilarang menetapkan nama rumah sakit yaitu Rumah sakit Dustira sebagai penghargaan kepada Mayor dr. Dustira Prawiraamidjaya atas jasa dan patriotismenya membantu para pejuang di medan perang terutama wilayah front Padalarang.

Dirawat dan dipertahankan

Menurut Agus, secara umum bangunan heritage RS Dustira dirawat dan dipertahankan. "Pemeliharaan khusus bangunan heritage tidak terlalu beda karena sudah termasuk harbang RS Dustira. Untuk bangunan heritage masih 100 persen kondisinya terutama dibangun sebelum tahun 1945. Yang dibangun setelah proklamasi dan ada perubahan atau renovasi, tetap mempertahankan nuansa heritage sebagai satu kesatuan," ungkapnya.

Diakui, tantangan mempertahankan bangunan heritage tersebut cukup berat. "Salah satunya diminta wali kota Cimahi mengecat bangunan RS Dustira menjadi putih sesuai kondisi awal. Kita terbentur peraturan KSAD bahwa bangunan TNI AD standarnya bercat hijau. Kami mengajukan lewat jenjang bertingkat mengenai perubahan warna, namun kalau disetujui juga berpikir lagi karena dananya darimana untuk mengecat keseluruhan," tuturnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat