kievskiy.org

Perdebatan Puting Beliung atau Tornado di Rancaekek, Pakar IPB University Bilang Begini

Bangunan rusak berat terdampak angin puting beliung di Nanjungmekar, Rancaekek, Kamis, 22 Februari 2024.
Bangunan rusak berat terdampak angin puting beliung di Nanjungmekar, Rancaekek, Kamis, 22 Februari 2024. /Pikiran Rakyat/Ahlaqul Karima Yawan

PIKIRAN RAKYAT - Fenomena puting beliung yang terjadi di Rancaekek Kabupaten Bandung dan Jatinangor Kabupaten Sumedang beberapa hari lalu telah menimbulkan pro dan kontra.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut angin tersebut sebagai tornado pertama di Indonesia. Namun, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menilai kejadian itu sebagai angin puting beliung biasa.

Hal tersebut membuat puting beliung di Rancaekek ini ramai diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia. Dosen IPB University dari Departemen Geofosika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Sonni Setiawan menilai, hal ini adalah hal yang wajar terjadi di Indonesia.

Ia memaparkan, atmosfer memiliki tekanan yang sangat rendah, tempat awan konvektif suhu berkumpul. Peran angin membantu konveksi suhu dan bergerak naik ke atas. Angin yang bergerak secara vertikal akan bergerak dengan arah yang bermacam-macam dan putarannya semakin cepat sehingga menciptakan puting beliung.

“Saya rasa kejadian yang ada di Rancaekek tersebut tidak ada keterkaitan secara langsung dengan perubahan iklim, karena iklim bersifat global, sedangkan kejadian tersebut bersifat lokal dan tidak tersebar ke banyak wilayah,” tuturnya, Kamis 29 Februari 2024.

Ia menjelaskan bahwa pola tornado dan puting beliung memiliki kemiripan bahkan sama. “Puting beliung adalah nama lain dari twister atau tornado di bawah skala EF0. Info yang saya dapat, kasus di Rancaekek wind gust-nya (penambahan kecepatan angin) belum mencapai EF0. Berdasarkan riset terbaru, terlihat ada supercell atau mesocyclone dari atas sehingga saya setuju jika kasus ini memakai ‘istilah’ tornado,” ucap Sonni.

Tornado, kata dia, diklasifikasikan dengan skala Fujita atau EF. Skala Fujita dimulai dari F1 sampai skala paling tinggi yakni F5. Kecepatan skala EF1 minimal adalah 150 kilometer per jam (km/jam), sedangkan fenomena tersebut hanya memiliki kecepatan 50 km/jam.

"Jika ada yang memandang fenomena tersebut sebagai tornado mungkin karena melihat pola angin dan tingkat kerusakan yang terjadi," ucapnya.

Meski demikian, dia mengatakan, status tornado pada fenomena di Bandung tersebut harus dipertimbangkan ulang. “Hal tersebut sebenarnya bagus karena dapat mendorong kita untuk dapat mengkaji fenomena tersebut lebih dalam,” ujarnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat