kievskiy.org

Cerita Lebaran Beda Hari di Bandung Tempo Dulu, Bupati Sampai Turun Tangan

Foto repro buku Ramadhan Di Priangan (Tempo Doeloe) yang ditulis Haryoto Kunto tentang pelaksanaan Salat Idul Fitri di Alun-Alun Bandung pada 1930-an.
Foto repro buku Ramadhan Di Priangan (Tempo Doeloe) yang ditulis Haryoto Kunto tentang pelaksanaan Salat Idul Fitri di Alun-Alun Bandung pada 1930-an. /Foto repro buku Ramadhan Di Priangan

PIKIRAN RAKYAT - Para alim ulama di sejumlah masjid di Kota Bandung berkumpul pada suatu sore tahun 1930-an. Mereka beramai-ramai mengamati garis cakrawala di arah barat untuk mengintip hilal sebagai penanda datangnya 1 Syawal atau perayaan Idul Fitri.

Tak dinyana, mendung dan hujan gerimis menghalangi pemantauan hilal tersebut. Kala matahari tenggelam, rembulan yang ditunggu tak jua muncul.

Ilustrasi hilal.
Ilustrasi hilal.

Padahal, warga sedang menunggu-nunggu bunyi "dulag pitrah" yang ramai dipukul di masjid, tajuk, dan pesantren. Bunyi beduk itu adalah tanda agar kaum muslimin selekasnya menemui lebe atau alim ulama guna membayar zakat fitrah lantaran besok Lebaran tiba. Namun, hal itu tak kunjung muncul.

"Baru kira-kira jam 10 malam (pukul 22.00), Opas Kabupaten disertai petugs Kaum, berkeliling kampung sambil memukul gong kecil," tulis Haryoto Kunto dalam tulisan Lebaran di Dayeuh Bandung dalam bukuk Ramadhan Di Priangan (Tempo Dulu). Bunyi gong tersebut merupakan pengumuman esok hari Lebaran.

Pengumuman tadi membuat Bandung berubah suasana. Bandung yang awalnya sepi, sunyi, dan dingin berubah menjadi sukacita dan meriah. "Kaum ibu berlarian ke pasar yang mendadak dibuka malam itu," tulis Haryoto.

Demikan pula dengan toko dan warung mendadak ramai dikerumuni para pengunjung yang membutuhkan bahan makanan buat dihidangkan pada hari raya. Haryoto menyebutkan, keramaian terjadi di pasar, toko, warung, dan kedai itu sering diistilahkan, marema atau dagangan mereka laris manis. Selain kehebohan mencari bahan makanan dan memasaknya untuk esok hari, ada pula kesibukan mencari lebe atau amil untuk membayar zakat fitrah.

Lebaran pun tiba. Warga Bandung berbondong-bondong menuju Alun-Alun untuk melaksanakan Salat Idul Fitri. "Sejak R.H.A.A Wiranatakusumah V pulang menjalankan ibadah haji ke Tanah Suci pada tahun 1924, maka suatu prosesi arak-arakan para Menak Bandung disertai Alim Ulama Kaum diadakan, dengan jalan kaki dari Pendopo Kabupaten menuju Masjid Agung Bandung," kata Haryoto.

Di barisan arak-arakan tersebut, tampak para menak mengenakan jubah, gamis, sorban. "Mereka terdiri dari: Dalem di depan, diiringi Raden Patih, Raden Rangga, Raden Kanduruan, Ki Mas Rangga, Ki Mas Kanduruan, Ki Mas Jaksa, Ki Mas Ngabehi, Ki Mas Lengser, Ki Mas Camat, Ki Mas Patinggi, Pangarang, Kabayan, Panglaku, Lurah atau Kokolot, Mandor serta Priyayi."

Sementara dari kalangan kaum atau ulama adalah Panghulu, Ketib, Modin, Amil. Selepas salat, warga berebut mencium tangan Dalem Bandung atau bupati dan panghulu. "Ngalap berkah konon katanya!" tulis Haryoto.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat