kievskiy.org

Produktivitas Pertanian Rendah, Bukan Saatnya Lagi Salahkan Cuaca

WARGA mengamati sawah di Kecamatan Cibeureum, Kota Tasikmalaya, Senin 25 Mei 2015. Sejumlah permasalahan menyebabkan tingkat produksi padi, jagung, dan kedelai sulit memenuhi target. Keterbatasan anggaran dan ketiadaan jaminan dari pemerintah menjadikan upaya peningkatan produksi terhambat.*
WARGA mengamati sawah di Kecamatan Cibeureum, Kota Tasikmalaya, Senin 25 Mei 2015. Sejumlah permasalahan menyebabkan tingkat produksi padi, jagung, dan kedelai sulit memenuhi target. Keterbatasan anggaran dan ketiadaan jaminan dari pemerintah menjadikan upaya peningkatan produksi terhambat.*

BANDUNG, (PR).- Meski telah berkali-kali berganti kepemimpinan, pemerintah masih saja tidak serius dalam menggarap urusan pertanian. Indikasinya, sudah lima tahun terakhir Indonesia dan sejumlah negara lainnya di dunia mengalami anomali cuaca. Akan tetapi, Indonesia masih saja menyalahkan cuaca sebagai penyebab terjadinya kemunduran pada musim tanam atau musim panen. Sementara di negara lainnya seperti Thailand, cuaca sudah tidak lagi menjadi kenala untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Hal itu disampaikan Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jawa barat, Entang Sastraatmadja kepada wartawan di Bandung. Rabu 23 Maret 2016. "Anomali cuaca itu sudah terjadi sejak lima tahun terakhir, mestinya Indonesia, termasuk Jawa Barat sudah dapat melakukan antisipasi terhadap hal tersebut. Di Thailand misalnya, yang namanya teknologi pengeringan pada musim hujan sudah sampai ke tingkat petani," katanya. Adanya teknologi semacam itu merupakan indikasi pemerintah di negara tersebut sangat serius dalam memperhatikan dan menggarap urusan pertanian. Sementara di Indonesia, berlarut-larutnya masalah pertanian merupakan indikasi tidak seriusnya pemerintah dalam menggarap urusan pertanian. Buktinya, dari tahun ke tahun, bila ada keterlambatan pada musim tanam dan musim panen, lagi-lagi yang dijadikan kambing hitam adalah cuaca. "Bagaimanapun, cuaca itu tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, yang dapat dilakukan adalah menangkap isyarat-isyaratnya dan mempersiapkan berbagai dampaknya," kata Entang. Lebih jauh lagi menurutnya, ketidakseriusan tersebut dapat dilihat dari tidak berkembangnya teknologi pertanian yang diberikan terhadap para petani. Pada umumnya, para petani diberikan teknologi yang sudah mereka ketahui dan tidak ada pendidikan yang bersifat baru atau iovatif. Mestinya, para petani di Indonesia sudah tidak lagi dapat bantuan sekadar traktor atau pompa, tapi teknologi pengeringan yang dapat membantu mereka pada saat musim hujan atau mesin giling yang dapat membantu mereka pada tahapan pasca panen. Paceklik Sudah Diperkirakan Menurut Ketua Gabungan Kelompok Tani Kota Tasikmalaya, Yuyun Suyud puncak masa paceklik pada tahun ini sudah diperkirakan lebih panjang sekitar 1-2 bulan. Sebab, adanya keterlambatan masa tanam di sejumlah wilayah Jawa Barat akibat musim kemarau panjang lalu otomatis memundurkan momentum panen raya yang biasanya jatuh pada bulan Maret. Puncak masa paceklik yang biasanya terjadi dari Januari hingga Februari pun bisa jadi lebih lama dan berakhir pada Maret sedangkan panen raya baru bisa dilakukan sekitar April-Mei. "Sejumlah daerah di Jawa Barat, termasuk Kota Tasikmalaya, mengalami musim kemarau yang sangat panjang tahun ini. Bahkan, meski hujan sudah turun sejak Desember lalu, sejumlah daerah pada saat itu masih ada yang mengalami kekurangan air," katanya. Akhirnya, hal tersebut membuat sejumlah petani memundurkan masa tanam yang biasanya dilakukan sejak Oktober dan November. Sejumlah petani ada yang baru saja memulai tanam dan ada yang masih menunggu hingga air cukup untuk melakukan tanam. Menurutnya, hal tersebut termasuk hal yang jarang terjadi di Kota Tasikmalaya dan menandakan kemarau yang terjadi pada Tahun 2015 lalu cukup memberatkan para petani.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat