kievskiy.org

Angklung dari Masa ke Masa, Jadi Musik Perang dan Dipakai Merayu Dewa Agar Turun ke Bumi

Acara bertajuk Harmony Angklung for The World di Stadion Siliwangi, Bandung, Jawa Barat, 23 April 2015.
Acara bertajuk Harmony Angklung for The World di Stadion Siliwangi, Bandung, Jawa Barat, 23 April 2015. /Pikiran Rakyat/Ade Bayu Indra

PIKIRAN RAKYAT – Keterangan sejarah tertua mengenai angklung adalah dipergunakannya waditra itu sebagai musik perang Kerajaan Sunda dalam kancah Perang Bubat tahun 1357.

Selama perang, angklung menyebar hingga ke Jawa Timur. Dikisahkan dalam Negarakertagama, saat Hayam Wuruk berkunjung ke Jawa Timur tahun 1359, ia disambut alunan angklung yang dimainkan rakyat.

Angklung lalu menyebar ke Banyuwangi, terlihat dengan adanya angklung carok, hingga ke Bali, dengan adanya cumang kirang, alat musik logam yang identik dengan angklung.

Pada abad ke-17, Sultan Ageng yang mencintai kesenian, kerap menggelar kesenian angklung di Keraton Banten. Para pemainnya berasal dari Banten dan Bali. Pada masa itu, angklung menyebar hingga ke Kalimantan dan Sumatra.

Dilarang oleh Kompeni

Saat Belanda menyerang Banten, Sultan Ageng mengerahkan rakyatnya untuk melawan. Untuk membakar semangat juang, angklung digunakan sebagai musik perang. Lagu perang yang terkenal berjudul Balagajur.

Sayang, perlawanan itu dipatahkan dan Banten takluk. Sejak itu, angklung dilarang dimainkan karena suaranya yang dimainkan bersama-sama dinilai sakral dan dapat membangkitkan semangat perlawanan rakyat.

Larangan itu tidak membuat rakyat Sunda meninggalkan angklung. Keteguhan memegang adat membuat angklung dipertahankan, bahkan dikembangkan. Di Bungko, Cirebon, misalnya, terdapat angklung bungko yang dibuat Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, 600 tahun lalu.

Kesenian itu dimainkan dalam upacara Nadran, Ngunjung ka Gunung Jati, Sedekah Bumi, dan dilestarikan sebagai kesenian pendukung penyebaran agama Islam.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat