kievskiy.org

Kretek di Indonesia, Cerita Perokok dan Tembakau sebagai Penggerak Perekonomian

Pekerja menyortir rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di pabrik rokok PT Praoe Lajar yang menempati bekas kantor perusahaan listrik swasta Belanda NV Maintz & Co, di kawasan Cagar Budaya Nasional Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Kamis, 24 Februari 2022.
Pekerja menyortir rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) di pabrik rokok PT Praoe Lajar yang menempati bekas kantor perusahaan listrik swasta Belanda NV Maintz & Co, di kawasan Cagar Budaya Nasional Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Kamis, 24 Februari 2022. /Antara/Aji Styawan

PIKIRAN RAKYAT - "Laki-laki bukan perokok bibirnya relative bersih kemerahan (bukan biru kehitaman). Kuku jari tangannya pun tidak kekuningan seperti umumnya perokok. Jika sudah berkeluarga dan tinggal di rumah sendiri, biasanya di meja tamu rumahnya tidak terdapat asbak, Barulah ketika ada tamu datang dan si tamu merokok, dia akan menyiapkan asbak atau apa saja yang dapat dijadikan tempat menampung bau dan puntung rokok. Upaya "melayani" tersebut dapat dipahami sebagai bentuk penghormatan, toleransi, kompromi, sekaligus upaya menjaga kebersihan rumah dan lingkungan dari abu yang bertebaran," demikian menurut Thomas Sunaryo dalam bukunya berjudul Kretek Pusaka Nusantara. 

Thomas menuturkan, aktivitas merokok di Indonesia dilakukan pelbagai kalangan. Berbagai strata masyarakat mengisap kretek, bahkan tak sedikit yang menjadi penggemar berat, seperti yang terjadi di Jawa.

Kutipan ciri orang yang tidak merokok di paragraf pertama merupakan salah satu bukti bahwa kretek menjadi bagian dari tradisi atau budaya Jawa yang tidak asing dan yang sudah dikenal.

Melalui bukunya, Thomas juga menyampaikan ciri-ciri lelaki perokok. Biasanya, tutur dia, laki-laki perokok selalu membekal rokok dan korek api ke mana pun dia pergi. Padahal, untuk mendapatkan rokok di Indonesia menurutnya cukup mudah lantaran hampir saban warung dan toko menjual kretek.

Sama seperti Thomas yang menyebut kretek sebagai bagian dari tradisi, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles mengungkapkan bahwa sekira tahun 1600, kretek menjadi kebutuhan hidup kaum pribumi Indonesia, khususnya di Jawa. Dalam naskah Jawa Babad Ing Sangkala disebutkan, tembakau masuk ke Pulau Jawa bersama wafatnya pendiri Dinasti Mataram  Panembahan Senapati.

"Waktu Panembahan wafat di Gedung Kuning adalah bersamaan tahunnya dengan mulai munculnya tembakau, setelah itu mulailah orang merokok," demikian keterangan dalam Babad Ing Sangkala yang telah diubah menjadi bahasa Indonesia.

Bukan hanya lelaki

Mencintai kretek bukan hanya hinggap di tubuh seorang lelaki saja, tak sedikit perempuan yang juga dianugerahi perasaan yang sama terhadap rokok. Dalam buku Perempuan Bicara Kretek, Abmi Handayani mengungkapkan, mengisap kretek adalah mengingat kembali nenek dan kebun kelapanya.

Dalam buku itu, Abmi menceritakan ritual neneknya saat berada di kebun saat beristirahat di gubuk kayu. Letak gubuk itu ada di tengah kebun.

Abmi menceritakan, neneknya mengisap kretek saban hari dan berharap tak diganggu cucu-cucu yang akan datang untuk minta dicarikan kutu. Sembari mengisap kretek di pondok sederhana itu, nenek Abmi menghayati suara laut yang tidak jauh dari kebun, mengingat anak dan cucunya yang pergi merantau.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat