kievskiy.org

Indies Atas Nama Fanatisme

KELOMPOK musik asal Inggris Suede menghibur penonton saat tampil dalam Soundrenaline 2019 di Garuda Wisnu Kencana, Badung, Bali, Sabtu, 7 September 2019. Dalam penampilannya, Suede membawakan sejumlah lagu seperti Beautiful Ones, Trash dan Saturday Night.*/ANTARA FOTO
KELOMPOK musik asal Inggris Suede menghibur penonton saat tampil dalam Soundrenaline 2019 di Garuda Wisnu Kencana, Badung, Bali, Sabtu, 7 September 2019. Dalam penampilannya, Suede membawakan sejumlah lagu seperti Beautiful Ones, Trash dan Saturday Night.*/ANTARA FOTO

PEKAN lalu, dua ikon di era Britpop tampil di Bali. Adalah Suede yang disebut sebagai salah satu kompatriot awal sejak “The Drowners” dirilis pada 1992 dan Primal Scream band indiepop 80-an yang merevolusi musiknya pada 1991 lewat “Screamadelica”. Meski tiket pesawat untuk ke Bali sedang terbilang mahal, buktinya dua band ini mampu menyedot animo yang tinggi. Atas nama fanatisme.

Ya, bagi sebagian kalangan yang mendaku sebagai penggemar band indies, Suede dan Primal Scream adalah tokoh. Di Bandung misalnya, sejak paruh kedua dekade 90, sudah ada beberapa band yang membawakan ulang lagu dari dua band ini di panggung-panggung lokal. Beberapa band bahkan sampai dapat sorotan yang tinggi karena kadar kesahihannya membawakan lagu-lagu band Inggris kesukannya.

Band idola memang tak sekadar Suede atau Primal Scream saja. Masih banyak nama lain. Selain Suede yang menjadi daftar utama tentunya Oasis, Blur, dan Pulp. Sementara Primal Scream berada di deretan mereka yang hendak mendalami musik ini lebih dalam. Bersamanya ada nama-nama seperti Stone Roses, The Smiths, dan lain-lain.

Pada era itu, musik seperti ini diakses lewat mereka yang punya teknologi parabola atau jaringan memesan barang ke luar negeri. Ketika MTV masuk lewat kanal ANTV, Britpop terutama band daftar utama menjadi lebih lazim.
 

Namun Britpop nyatanya tak hanya membawa pengaruh musik. Dia juga menjelma sebagai subkultur. Wijaya Laksana yang pada 90-an menjadi penggawa band Kamehame memandang, indies sanggup membuat seseorang jatuh cinta karena segala hal yang berhubungan dengan skena ini dapat dilakukan siapa saja. 

Untuk memainkan indies, seseorang tak perlu memiliki jari secepat Kirk Hammet Metallica, rambut panjang secantik Sebastian Bach, atau suara 6 oktav seperti Axl Roses. Untuk menjadi indies, seseorang hanya membutuhkan harmonisasi yang bagus, suara sedikit merdu, dan kaos atau kemeja agak ketat. Ciri seperti itu sudah cukup menjadi petunjuk bahwa sebuah band mengusung genre ini. 

Selain itu, lirik-lirik indies yang jujur menjadi daya tawar lain yang memikat. Banyak band Britpop berasal dari jalur independen. Oleh sebab itu, tak mengherankan jika lirik dan musik yang tercipta benar-benar jujur, bukan sekadar memenuhi kuota perusahaan rekaman. 

“Saya yakin ada orang yang diam-diam menjerit sambil mendengarkan Stone Roses ‘I wanna be adoreeee...’ atau memandangi langit-langit kamar dengan intro piano “Trust” (The Cure) atau memutar keras-keras ‘cause heaven knows i’m miserable now...’ (The Smiths) saat tahu kecengan-nya direbut pria lain,” kata pria yang akrab disapa Jay ini.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat