PIKIRAN RAKYAT - Bukan sebuah kejutan, ilmuwan dari Yale University menemukan bahwa platform media sosial seperti X (Twitter) dapat memperkuat kemarahan moral kolektif kita. Selain itu, mereka menemukan bahwa pengguna yang memiliki pandangan politik secara moderatlah yang bersikap agresif dari waktu ke waktu. Penemuan mereka bisa dilihat secara detail di Science Advances.
“Kami tertarik untuk memahami fenomena ini secara umum yang diketahui kebanyakan orang yang menggunakan media sosial, terutama Facebook dan Twitter– dimana ketika Anda masuk, banyak konten politik beredar di beranda anda, dan biasanya disertai dengan kemarahan moral, terutama selama masa-masa penting dalam politik Amerika,” kata William Brady, peneliti di Fakultas Psikologi Yale University, seperti dilansir laman Popsci awal pekan lalu.
Selanjutnya, Brady dan timnya ingin mencari tahu mengapa kemarahan moral di media sosial terlihat menguat, dan apakah pembelajaran sosial dapat berperan dalam mempengaruhi keputusan kita untuk mengekspresikan kemarahan
Melatih komputer
Untuk mengumpulkan informasi penelitian, pertama mereka harus mendefinisikan apa itu kemarahan moral. Mereka menggunakan definisi teoritis dari moral psikologis dan ilmu emosi, dan memecahnya menjadi tiga komponen utama. Pernyataan harus dijiwai dengan perasaan negatif yang biasanya merupakan gabungan dari kemarahan dan rasa jijik, dan penggunanya harus benar-benar memikirkan topik tersebut.
Para peneliti mengamati dua bentuk pembelajaran sosial saat mengikuti tweets dan tweeters selama peristiwa tersebut. Jenis pembelajaran sosial yang pertama adalah penguatan, dimana seseorang belajar cara menyesuaikan perilakunya berdasarkan tanggapan yang diterimanya. Contohnya, mendapatkan likes dan share bisa diartikan sebagai tanggapan positif. Yang kedua adalah pembelajaran norma, ketika seseorang menyesuaikan perilaku mereka dengan mengamati perilaku yang umum, atau normal, dalam jaringan sosial mereka. Ini bisa terjadi secara instan ketika pengguna tersebut masuk dan melihat apa yang sedang dibicarakan oleh jaringan sosial, atau orang yang mereka ikuti.
Mereka melatih machine learning untuk mengambil fitur linguistik (jenis kata, penyusunan kata, dan tanda baca) yang paling dikaitkan dengan cuitan (tweet) yang dilabeli berisi kemarahan. Lalu, model tersebut mengektrapolasikannya ke cuitan baru, dan memperkirakan kemungkinan tweet tertentu mengandung ekspresi kemarahan moral. Model ini bekerja sangat baik pada topik politik, tetapi masih belum pasti apakah bisa digunakan pada topik non-politik.***