kievskiy.org

Pengunjuk Rasa Berisiko Mudah Jadi Gila

ILUSTRASI unjuk rasa.*/DOK. PR
ILUSTRASI unjuk rasa.*/DOK. PR

NIKO Cheng sudah siap mati saat ia melakukan aksi protes di Hong Kong pada Agustus lalu. Namun, ia dan pengunjuk rasa lain yang melabeli diri sebagai ‘fighters’, harus berhenti melakukan protes untuk yang terakhir kalinya pada 31 Agustus lalu.

Dilansir The Guardian, Rabu 23 Oktober 2019, selama berbulan-bulan melakukan aksi protes, Cheng mulai merasa lelah dan letih. Beberapa kali, ia nekat menyerahkan diri ke polisi dan memaksa mereka untuk menembaknya. Para unjuk rasa lain berusaha mencegah aksi yang ia lakukan, tetapi Cheng sangat berharap polisi akan menangkap dan melukainya.

Di hari kemerdekaan Tiongkok, Cheng terkena semprotan water cannon dan terpaksa mundur lebih awal. Beberapa minggu sesudahnya, ia semakin resah alih-alih merasa lega. Dompet dan kartu identitas di dalamnya hilang, tetapi ia tidak mempedulikannya sama sekali.

“Saya tidak memiliki motivasi untuk melakukan apapun. Semua yang saya lakukan sia-sia dan tidak berarti,” ungkapnya. “Pada saat itulah saya sadar, saya harus kembali menjalani kehidupan yang normal.”

Kerusuhan politik yang terus mengguncang Hong Kong membuat para ahli kesehatan khawatir dengan kesehatan mental para pengunjuk rasa. Mereka mulai menunjukkan tanda-tanda depresi, kecemasan, dan stres akut.

Bunuh diri

Sejak Juni lalu, para pengunjuk rasa menemukan sembilan kasus bunuh diri yang diduga berkaitan langsung dengan aksi demonstrasi. Para pekerja sosial khawatir jumlah ini semakin meningkat saat memasuki bulan kelima seiring meningkatnya aksi kekerasan dan pemerintah tidak memberikan solusi sama sekali.

Lembaga swayadaya masyarakat (LSM) dalam bidang kesehatan dan konselor mengatakan jumlah tekanan dan ancaman bunuh diri semakin meningkat, terutama dalam beberapa minggu terakhir.

Bukan hanya para pengunjuk rasa yang berisiko mengalami gangguan mental. Sebuah studi yang dilakukan oleh Hong Kong University menunjukkan bahwa 1 dari 10 orang di Hong Kong berpotensi mengalami depresi dan pernah terpikir untuk melakukan bunuh diri. Angka ini meningkat 1,1% sejak awal dekade ini.

Gabriel Leung, ketua penelitian, mengatakan orang yang ikut dan tidak ikut protes terkena dampak yang sama. Konsep ini disebut dengan efek spillover atau dampak kebijakan politik yang mempengaruhi seluruh masyarakat meskipun tidak terlibat secara langsung. Leung menyebut situasi ini sebagai “epidemi kesehatan mental”

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat