kievskiy.org

IDI Sumedang Tolak Dokter Layanan Primer

KETUA Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Sumedang, Hilman Taufik WS (kiri) sedang menjelaskan penolakan kebijakan baru  pemerintah untuk mengangkat Dokter Layanan Primer (DLP) atau dokter umum spesialis dalam melayani pasien BPJS Kesehatan  di RSUD Sumedang, Senin, 24 Oktober 2016.*
KETUA Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Sumedang, Hilman Taufik WS (kiri) sedang menjelaskan penolakan kebijakan baru pemerintah untuk mengangkat Dokter Layanan Primer (DLP) atau dokter umum spesialis dalam melayani pasien BPJS Kesehatan di RSUD Sumedang, Senin, 24 Oktober 2016.*

SUMEDANG, (PR).- Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Sumedang, menolak kebijakan baru pemerintah untuk mengangkat Dokter Layanan Primer (DLP) atau dokter umum spesialis. DLP tersebut akan ditugaskan di tempat fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama pada layanan BPJS Kesehatan, seperti puskesmas dan klinik. Penolakan itu, karena pengangkatan DLP dinilai tidak akan efektif dalam meningkatkan kualitas pelayanan BPJS Kesehatan. Bahkan proses pengangkatannya terlalu lama. Prosedur pengangkatan DLP, yakni dokter umum harus meneruskan sekolahnya 3 tahun hingga mendapat gelar dokter umum spesialis. “Kebijakan pemerintah mengangkat DLP ini, terkesan mengada-ngada. Sebab, kebijakan itu dikeluarkan ketika IDI meminta pemerintah menaikan pendapatan kapitasi dokter yang melayani para pasien BPJS Kesehatan. Pemerintah akan menaikan pendapatan kapitasi dokter BPJS Kesehatan, asalkan sudah menjadi DLP,” kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Sumedang, Hilman Taufik WS di ruang kerjanya di RSUD Sumedang, Senin, 24 Oktober 2016. Ia yang juga Direktur RSUD Sumedang, mengatakan hal itu dalam ekspose “Hari Bakti Dokter Indonesia ke-108 tahun 2016” bertema “Reformasi Kebijakan Kesehatan yang Pro Rakyat”. Menurut dia, tidak efektifnya pengangkatan DLP, karena cukup banyak dokter umum di faskes pertama yang kompeten dan profesional dalam melayani pasien BPJS. Tanpa DLP pun, para dokter umum itu bisa melayani para pasien dengan baik. Kebijakan itu pun dinilai tidak efisien. Sebab, untuk menjadi DLP, dokter umum mesti sekolah lagi 3 tahun hingga menjadi dokter umum spesialis. “Jadi, proses menjadi DLP terlalu lama sehingga tidak efisien,” ujarnya Hilman Terlebih lagi, kata dia, hasil evaluasi IDI Kab. Sumedang, karut marutnya pelayanan BPJS Kesehatan di Kabupaten Sumedang, bukan karena buruknya kinerja dan tindakan dokter. Akan tetapi, akibat keterbatasan sarana dan peralatan medis. Permasalahan tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah. Imbas terbatasnya obat-obatan dan peralatan medis di puskesmas atau klinik, sehingga terpaksa dokter merujuk pasiennya ke rumah sakit. Akibatnya, pasien di rumah sakit membludak tapi di puskesmas sedikit. “Kondisi ini tidak sesuai harapan BPJS Kesehatan. Akan tetapi, permasalahan tersebut bukan karena dokternya, melainkan terbatasnya sarana dan alat medis yang justru menjadi tanggungjawab pemerintah,” katanya. Hilman menduga, munculnya kebijakan baru pengangkatan DLP itu, terkesan akal-akalan pemerintah untuk menghindari desakan IDI supaya pendapatan kapitasi dokter yang melayani pasien BPJS Kesehatan dinaikan. Apalagi sejak BPJS Kesehatan diterapkan di Kabupaten Sumedang tahun 2014 lalu, keinginan menaikan pendapatan kapitasi dokter hingga kini belum terealisasi. “Untuk menghindari keinginan kami, pemerintah sengaja membuat persyaratan. Pendapatan kapitasi dokter bisa dinaikan, asalkan dokter umumnya harus sudah DLP,” ujarnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat