kievskiy.org

Kisah Haji Hasan Mustapa: Sosok Ulama ‘Nyentrik’ dari Bandung

Haji Hasan Mustapa, salah satu haji yang terkenal di Bandung tempo dulu.
Haji Hasan Mustapa, salah satu haji yang terkenal di Bandung tempo dulu. /Tangkapan layar Leiden University Libraries Digital Collections

PIKIRAN RAKYAT - Salah satu haji yang terkenal di Bandung tempo dulu adalah Haji Hasan Mustapa. Sosok yang pernah menjadi hoofd penghulu tersebut juga terbilang nyentrik. Namanya pun diabadikan sebagai nama jalan di Bandung.

Toha Firdaus, anak Haji Hasan Mustapa meninggal dalam tabrakan mobil di Leles, Garut. Kala akan dikuburkan, iringan-iringan yang menyertai jasad anak penghulu Bandung tersebut justru bukan dari orang yang mengaji. Yang mengiringinya justru alunan orkes keroncong yang menjadi kegemaran Toha saat masih hidup. Kisah itu muncul dalam buku, Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustafa yang diterbitkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta pada 1985.

Dalam buku yang ditulis oleh Tini Kartini, Ningrum Djulaeha, Saini K.M, dan Wahyu Wibisana itu, sosok Hasan Mustapa memang terbilang unik. Selain kisah pemakaman anaknya, Hasan Mustafa juga dikenal tak terlalu akrab dengan penguasa di Bandung saat itu. Saat menjabat hoofd penghulu Bandung dalam kurun 1895 hingga 1918, Hasan Mustapa bukanlah orang yang tunduk kepada bupati atau penguasa lain di zaman pemerintah kolonial Belanda bercokol di negeri ini. Sebagai hoofd penghulu atau kepala penghulu, ia merupakan pegawai pemerintah di masa tersebut.

Akan tetapi, sang penghulu tetap mempertahankan kebebasan menentukan sikap dan berpendapat. Haryoto Kunto dalam bukunya, Ramadhan Di Priangan (tempo doeloe) juga menampilkan sejumlah kisah tentang Hasan Mustapa. Ia menyebutkan, Hasan Mustapa dan sang Dalem atau Bupati Bandung kerap saling sindir menyindir. Kisah menarik hubungan itu misalnya terjadi saat bupati mengutus seorang opas menjumpai Hasan Mustapa yang tengah bersiap salat Magrib. "Penghulu, Dalem Bupati ingin bertanya. Berapa gerangan jumlah setan di atas dunia," tanya opas sebagaimana ditulis Haryoto. Tanpa memalingkan muka, Hasan Mustapa memberikan jawaban bahwa setan di dunia itu ada dua.

Pertanyaan kembali muncul saat opas telah menyampaikan jawaban tersebut kepada bupati. Ia memperoleh titah lagi menanyakan perihal identitas dua setan itu. Jawaban Hasan Mustapa, "Setan yang pertama adalah Setan Opas, yang kedua adalah Setan Dalem (Bupati)." Cerita itu, menurut Haryoto, menunjukkan kalangan Kaum (ulama) di Masjid Agung Bandung tak tunduk begitu saja kepada bupati. Keteguhan sikap dan keberanian menyampaikan pendapat juga disampaikan juga muncul dalam buku biografinya.

"Hal ini dapat dilihat dari penolakannya yang tegas terhadap ajakan pemerintah Belanda ketika itu, yang menginginkan agar penganut agama Islam diizinkan pula agar mempelajari agama Kristen, dan usahanya yang berhasil dalam mengusir rumah-rumah makan China dari sekeliling Masjid Agung Bandung karena menurut pendapatnya tidak pantaslah tempat orang Islam bersembahyang dikelilingi bau masakan babi." Sementara itu, Haryoto mencatat peristiwa itu terjadi pada 1915.

"Beberapa sesepuh jemaah masjid yang sensitif telah merasa terganggu oleh aroma atau bau masakan babi dari dapur pertokoan di sekeliling masjid. Sehingga untuk menghindari bau babi tadi, pengurus masjid kemudian membangun pagar tembok tinggi di sisi kanan-kirinya," tulis Haryoto.

Riwayat Hidup

Hasan Mustapa lahir pada 3 Juni 1852 di Cikajang, Garut. Lahir dari keluarga taat beragama dan ahli budaya, ia karib dengan kitab-kitab sekaligus tarian ronggeng di masa remajanya. "Dia senang sekali menari ronggeng ketuk tilu. Walaupun demikian, ke mana pun dia pergi kitab pelajarannya selalu dibawanya, tidak pernah tertinggal. Di tempat ronggeng, kitab itu disisipkan pada sebatang pohon pisang." Demikian riwayat masa kecil sang penghulu dalam buku biografinya. Namun, perilaku Hasan Mustapa menyulut kemarahan orangtuanya yang kemudian menyuruhnya pergi menuntut ilmu ke Makkah. Kepergian ke Tanah Suci merupakan untuk kedua kalinya.

"Kepergiannya yang pertama yaitu ketika Haji Hasan Mustapa baru berusia 7-8 tahun dibawa ayahnya pergi naik haji." Sepulangnya dari Makkah, ia belajar ilmu agama di berbagai tempat, seperti Sumedang, Garut, Surabaya, dan Madura. Pada 1893, ia diangkat menjadi Hoofd Penghulu Aceh. Dua tahun selanjutnya, ia kembali ke Priangan dan menjadi Hoofd Penghulu Bandung.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat