kievskiy.org

UU Pilkada Istimewakan DPR dan DPD

ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat saat ini tengah ngotot merevisi Undang-Undang No. 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.*
ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat saat ini tengah ngotot merevisi Undang-Undang No. 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.*

JAKARTA, (PRLM).- Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah ngotot merevisi Undang-Undang No. 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Namun, tidak ada pasal 7 khususnya huruf s dalam rencana revisi itu. Padahal, pasal yang mengatur pencalonan itu secara terang benderang menunjukkan diskriminasi. Bagi anggota TNI, Polri, pegawai negeri sipil, dan badan usaha milik negara, seperti yang diatur di pasal yang sama, disyaratkan mengundurkan diri begitu mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah. Namun, untuk legislator dan senator mendapat perlakuan berbeda melalui pasal 7 huruf s tersebut. Anggota DPR maupun Dewan Perwakilan Daerah cukup memberitahukan pimpinan mereka. Secara lengkap tertulis, "memberitahukan pencalonannya sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil walikota kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada pimpinan DPRD bagi‎ anggota DPRD‎." Protes pun dilayangkan oleh warga sipil bernama Ali Nurdin. Protes tersebut disampaikan dosen Universitas Mathla'ul Anwar, Pandeglang Banten, itu dalam bentuk gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. ‎Kuasa hukum yang ditunjuk adalah Andi Syafrani. "UU harus menjamin hak semua pihak. Jangan ada yang diuntungkan sementara yang lain dirugikan," kata dia saat ditemui di Gedung MK, Selasa (26/5/2015). Kemarin adalah sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli. Bertindak sebagai ahli yakni Nicolaus T.B. Harjanto yang tak lain Direktur Eksekutif Populi Center dan Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina Jakarta. ‎Dalam keterangannya, Nico mengatakan kedudukan politik setiap subjek politik adalah sama di depan aturan main politik sesuai prinsip teori fair equality of opportunity (kesempatan dan kesetaraan yang adil). Untuk itu, pengaturan politik yang memberikan keistimewaan untuk kelompok tertentu merupakan pelanggaran atas prinsip tersebut. ‎"Kemudian dikenal resign to run law untuk menghindari kekuasaan ganda dan menghindarkan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) yang dapat mengakibatkan kompetisi politik menjadi tidak adil dan seimbang," kata dia. Resign to run ini sudah diterapkan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat seperti Arizona, Florida, Georgia, Hawaii, dan Texas. Di sesama negara Asia, Hong Kong, aturan mengenai resign to run bagi legislator su‎dah dimuat di rancangan UU untuk menjadi legislative council. "Di Australia, dual mandates merupakan hal yang melanggar konstitusi," kata dia. Nico menegaskan, jika legislator tidak terlebih dahulu mundur, dipastikan mereka tidak akan melakukan tugas dengan sepenuhnya. Padahal, mereka masih mendapatkan kompensasi penuh dari uang pajak sehingga bertentangan dengan prinsip efisiensi dalam tata kel‎ola pemerintahan. "Dari perspektif etika politik, para anggota legislatif yang maju ke pemilihan eksekutif juga sangat mungkin menyalahgunakan kekuasaan, fasilitas, maupun aset-aset lembaga baik yang berwujud maupun tidak, untuk kepentingan kampanye dan pemenangannya," ujar dia. (Amaliya/A-147)***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat