kievskiy.org

Kerajinan Batik Mojolaban Ibarat 'Bangkit dari Kubur'

SALAH seorang anak muda perajin batik di Mojolaban, sedang memberi warna pada sehelai kain yang telah dibatik atau disebut
SALAH seorang anak muda perajin batik di Mojolaban, sedang memberi warna pada sehelai kain yang telah dibatik atau disebut

SOLO, (PRLM).- Kerajinan batik tradisional di pedesaan Kec. Mojolaban, Kab. Sukoharjo, Jawa Tengah, kini ibarat bangkit dari kubur. Setelah masa kejayaan batik tulis klasik dan cap karya tangan-tangan perajin di era 1950-1970-an "terkubur" akibat serbuan tekstil bermotif batik yang disebut batik printing, kini pamor batik Bekonang kembali cemerlang. Kisah pahit-getir di jagat kerajinan batik itu dialami para perajin Bekonang, di antaranya Harsono, seorang perajin batik yang kini memimpin klaster batik "Sidomukti", Mojolaban, Sukoharjo. Di tengah maraknya pasaran batik tradisional belakangan ini, para perajin batik tulis dan cap di Bekonang berupaya tidak meninggalkan tradisi membatik yang diwariskan turun temurun. Berbeda dengan proses produksi batik printing dengan pewarnaan bahan kimia, para perajin batik tulis dan batik cap lebih banyak memanfaatkan bahan pewarna alami dengan proses pewarnaan tradisional. Bahkan, proses pewarnaan yang disebut "babaran genes" dengan warna soga menawan yang kian langka, menjadi salah satu keunggulan batik berkualitas yang diminati banyak orang. Di Rumah Batik "Adi Busana" miliknya, Harsono menunjukkan kulit manggis, kulit kayu teger, indigo vera dan lain-lain bahan yang semua alami, digunakan dalam proses pewarnaan yang dikerjakan secara tradisional. Sedangkan proses pewarnaan "babaran genes" yang secara tradisional dilakukan dengan teknik celup dan butuh waktu 40 hari untuk menyelesaikan proses itu, sekarang bisa dikerjakan beberapa bari menggunakan kulit manggis dengan teknik colet. Harsono mengungkapkan, produksi kain batik sekarang ini 80 persen telah menggunakan bahan pewarna alami. Penggunaan warna alami lebih ramah lingkungan, karena limbah cair yang terbuang mudah terurai sehingga tidak menimbulkan polusi. "Warna-warna batik yang dihasilkan juga tidak kalah bagus dengan yang menggunakan pewarna kimia. Meskipun warna yang dihasilkan pewarna alami tidak secerah perwarna kimia, kain batik dengan pewarna alami lebih awet dan kalau perawatannya bagus warnanya juga lebih indah," ujar Harsono. Seperti para perajin batik lainnya yang baru bangkit dari keterpurukan, Harsono menghidupkan kembali usahanya pada tahun 1978. Dia meneruskan warisan ayahnya yang merintis kerajinan batik sejak 1958. Di awal kebangkitan usahanya, Harsono hanya memproduksi kain panjang, sarung dan selendang. Setelah produksi itu bertahan beberapa tahun, pada era 80-an muncul tren baru ketika batik diproduksi menjadi beragam busana. Sejak itu usaha kerajinan batik Bekonang pada umumnya kian bertumbuh. Di perusahaan Adi Busana, setiap hari Harsono mempekerjakan rata-rata 25 orang perajin, disamping menerima setoran dari para perajin pedesaan dengan hasil total 200-300 potong kain batik per bulan. Harga kain batik bermotif klasik maupun motif modern kreasi para perajin pedesaan yang dikerjakan dengan teknik cap, di tempat asalnya seperti Bekonang rata-rata hanya berkisar Rp 150.000,- sampai Rp 200.000,- per potong. Sedang harga batik tulis agak lebih mahal, yakni mulai Rp 250.000,- per potong sampai tak terbatas tergantung bahan mori, motif, teknik pembatikan, babaran dan sebagainya. Semaraknya pasaran batik belakangan ini, menurut Harsono memberi banyak harapan bagi para perajin pedesaan. Dia mengungkapkan, kesulitan regenerasi perajin batik mulai teratasi dengan munculnya pembatik-pembatik muda. Namun kesulitan lain yang dihadapi para perajin adalah permodalan untuk mengimbangi permintaan pasar. "Kami melayani permintaan dalam negeri saja kewalahan, di antaranya karena terbatasnya modal. Sebab untuk memproduksi batik sampai terjual harus punya modal tiga kali lipat. Kebanyakan perajin batik menghadapi masalah permodalan itu," ucapnya (Tok Suwarto/A-147)***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat