kievskiy.org

Otonomi Daerah Belum Sinkron dengan Kemudahan Investasi

JAKARTA, (PR).- Ketua DPP Partai Golkar bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Aziz Syamsuddin mengakui bahwa masih banyaknya regulasi yang menghambat investasi di daerah membuat pertumbuhan ekonomi terhambat. Padahal, desentralisasi pemerintahan melalui otonomi daerah seharusnya membuat laju investasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah meningkat. Apalagi, ujarnya, sudah hampir dua dasawarsa reformasi bergulir, yang melahirkan sistem otonomi daerah itu sendiri. “Inilah tantangan kita bagaimana mensigkronkan investasi dan otonomi daerah. Untuk itulah kita harus tentukan mana peraturan daerah yang perlu dipertahankan dan mana yang perlu dicabut,” ujarnya dalam acara diskusi bertema “Efektivitas Penataan Ulang Regulasi Ekonomi dan Investasi” di Kantor DPP Partai Golkar, Kamis 9 Juni 2016). Menurut Aziz, sekitar 3.266 Perda bermasalah sebagaimana data dari Kemendagri. Dia juga menyebutkan bahwa semestinya sejumlah regulasi juga perlu disederhanakan sehingga iklim investasi berjalan lebih sehat. Tujuannya, adalah agar dapat meningkatkan daya saing investasi dan kualitas produk dalam negeri. Sementara itu, Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari mengatakan sejauh ini calon investor di wilayahnya mempertanyakan tiga hal dalam kaitannya dengan investasi. Faktor keamanan merupakan salah satu faktor terpenting untuk menjamin kelangsungan investasi mereka. Sedangkan faktor kedua adalah persoalan kemudahan berinvestasi yang menyangkut masalah proses perizinan. Ketiga, ujarnya, adalah persamaan. Dia menyebutkan kebanyakan inveator asing menuntut kesamaan perlakuan dan layanan birokrasi ketika mereka berusaha di wilayah tersebut. Aziz mengatakan, kurang kreatifnya daerah dalam mencari sumber PAD seringkali semua hal sedapt mungkin harus dipajaki dan dikenakan tariff bagi pendapatan daerah. Padahal Perda sendiri dimaksudkan untuk menyeimbangkan proporsi yang seharusnya menjadi variable pemasukan bgi daerah dan sekaligus mencegah adanya retribusi yang tidak perlu. Kondisi tidak efektif katanya juga tercermin dari soal waktu yang selama ini sering memunculkan kesan tekanan dan adanya “motif-motif lain” yang sesungguhnya dapat dipngkas. Selain itu cukup baanyaak aaturan yang tidak sinkron antara/antar satuan kerja (pusat dan daerah) dan bahkan sebgian saling bertentaangan dengan produk perundang-undangan yang berlaaku. Diingatkan, faktor kapasitas sumberdaya manusia daerah (SDM) juga menjadi aspek penting terkait kualitas regulasi di darah. Menurut Aziz, kesenjangan kemampuan SDM kerap terhubung dengan sejauhmana akhirnya muatan regulasi bernilai integrative dan visionable sehingga terciptnya pembangunan yang progresif dan berkesinambungan. “Alangkah naifnya, jika aturan dibuat, justeru menjadi beban bagi pengusaha dan semakin memperburuk iklim usaha yang pada akhirnya menciptakan angka pengangguran secara jamak,” tegas Aziz.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat