kievskiy.org

Banjir dan Longsor Akibat Buruknya Pengelolaan DAS

KAWASAN hulu Sungai Cimanuk, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Kamis, 22 September 2016.*
KAWASAN hulu Sungai Cimanuk, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Kamis, 22 September 2016.*

JAKARTA, (PR).- Bencana banjir bandang yang terjadi di Kab. Garut menjadi salah satu potret buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk, Jawa Barat. DAS Cimanuk sudah tergolong kritis sejak 1984 dan kondisinya semakin rusak akibat intervensi manusia yang makin masif merusak DAS. Dampaknya, banjir bandang dan longsor yang menelan korban dan kerugian pun terjadi. Peneliti Utama Hidrologi dan Pengelolaan DAS di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, peningkatan banjir dan longsor ini tidak lepas dari faktor alam dan manusia. Faktor alam, pengaruh perubahan iklim global yang menyebabkan dapur massa uap air bertambah sehingga menjadikan cuaca ekstrem sering terjadi. "Faktor manusia, degradasi lingkungan dan tingginya kerentanan sehingga risiko bencana juga meningkat. Faktor manusia ini yang lebih dominan menyebabkan banjir dan longsor dibandingkan alam. Banjir dan longsor sesungguhnya tidak lepas dari imbas kerusakan DAS," kata Sutopo di Jakarta, Jumat, 23 September 2016. Dia mencatat, saat ini, 118 DAS dari 450 DAS di Indonesia dalam kondisi kritis. Pada 1984 hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis, 1992 meningkat menjadi 29 DAS, 1994 menjadi 39 DAS, 1998 menjadi 42 DAS, 2000 menjadi 58 DAS, 2002 menjadi 60 DAS, dan 2007 sekitar 80 DAS yang rusak super kritis dan kritis. Sutopo mengatakan DAS Cimanuk yang kritis sejak 1984 semakin rusak akibat intervensi manusia. Respons dari kerusakan DAS ini, lingkungan semakin sensitif terhadap komponen yang ada dalam sistem lingkungan. "Ketika hujan mudah banjir dan longsor. Namun sebaliknya ketika kemarau demikian mudahnya terjadi kekeringan," kata Sutopo. Sekalipun pengelolaan DAS terus dilakukan, hasilnya belum signifikan karena degradasi DAS terus meningkat. Dampaknya, banjir, longsor, erosi, sedimentasi dan daya dukung serta daya tampung lingkungan terlampaui. Sutopo mengatakan ada sesuatu yang salah tetapi tidak ada solusi permanen dan jangka panjang. Permasalahan dalam teknologi pengelolaan DAS, kata Sutopo, pada umumnya masalah pemeliharaan setelah proyek berakhir. Berbagai proyek konservasi tanah skala besar di Jawa seperti Proyek Citanduy II, Upland Agriculture and Conservation Project (UACP), dan Land Rehabilitation and Agroforestry Development mempunyai masalah yang sama, pemeliharaan teras merosot drastis setelah proyek selesai. "Pemeliharaan teras secara terus menerus tanpa subsidi setelah proyek berakhir tidak dapat dilakukan oleh petani, khususnya petani lahan kering karena besarnya biaya yang diperlukan. Akibatnya proyek tersebut tidak berkelanjutan dan akhirnya kurang efektif," katanya. Masalah DAS, menurut Sutopo, bukan hanya bertumpu pada pada masalah fisik dan teknis saja, perlu keseimbangan dengan pengelolaan DAS yang bersifat partisipatoris. Pendekatan pembangunan partisipatoris ini harus dimulai dari masyarakat. Dia menjelaskan, munculnya paradigma pembangunan pengelolaan DAS yang partisipatoris mengindikasikan adanya dua perspektif. Pertama, melibatkan masyarakat setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS. Sehingga dapat dijamin persepsi, pola sikap, dan pola berpikir serta nilai-nilai dan pengetahuan lokal ikut dipertimbangkan secara penuh. Kedua, adanya umpan balik yang pada hakekatnya bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan pembangunan. "Pengelolaan DAS partisipatif didasarkan pada pendekatan farming system dan pengelolaan milik bersama (common property resources management) yang dalam prakteknya memperkenalkan konsep DAS kecil sebagai satu unit pembangunan," katanya. Untuk itu, kata Sutopo, penataan ruang harus diimplementasikan secara ketat dan bersama. Pemanfaatan ruang berbasis peta rawan bencana harus mengatur semua sektor kegiatan manusia, baik oleh pemerintah, pemda, dunia usaha dan masyarakat. "Seringkali tata ruang sudah bagus dan mempertimbangkan aspek bencana, tetapi semua dilanggar sehingga menimbulkan banyak masalah," kata Sutopo. Akibatnya, kata Sutopo, kawasan resapan air berkurang, hulu DAS berubah menjadi kawasan budidaya dan permukiman, bantaran sungai penuh permukiman, erosi, sedimentasi, polusi dan lainnya. Pengelolaan DAS menurut dia, harus menyeluruh dan harus ada komitmen pemerintah, pemda, dunia usaha dan masyarakat yang kuat dan konsisten untuk melakukannya. "Jika tidak maka banjir bandang di Garut dapat juga terjadi dengan mudah di daerah lain yang memang kondisi DAS-nya sudah rusak," kata Sutopo.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat