kievskiy.org

Bom, Aksi Balas Dendam dan 'Hukuman' dari Teror

Karo Penmas Mabes Polri Brigjen. Pol Rikwanto (kiri) didampingi Analis Kebijakan Madya Divhumas Polri Kombes Pol Sulistyo Pudjo Hartono (kanan) menunjukkan surat wasiat terduka teroris saat memberikan keterangan tentang penangkapan terduga teroris Purwakarta di Mabes Polri, Jakarta, Senin 26 Desember 2016. Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri menangkap empat orang terduga teroris di dekat Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Minggu 25 Desember 2016.*
Karo Penmas Mabes Polri Brigjen. Pol Rikwanto (kiri) didampingi Analis Kebijakan Madya Divhumas Polri Kombes Pol Sulistyo Pudjo Hartono (kanan) menunjukkan surat wasiat terduka teroris saat memberikan keterangan tentang penangkapan terduga teroris Purwakarta di Mabes Polri, Jakarta, Senin 26 Desember 2016. Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri menangkap empat orang terduga teroris di dekat Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Minggu 25 Desember 2016.*

JAKARTA, (PR).- Pola aksi teror di Indonesia tidak akan jauh dari tren global. Secara ekstrem, teror masih dipandang sebagai penyampai pesan yang efektif sekaligus sarana balas dendam atau penghukuman atas perbuatan yang mereka persepsikan sebagai lebih jahat atau zalim.

”Mengingat jaringan teror di Indonesia ini didominasi oleh kumpulan fans dan followers, tentu saja potensi ancamannya tak akan jauh dari tren global. Kebuntuan akibat tidak dikelolanya pendapat/suara/sikap yang berbeda akan sangat berpotensi meningkatkan ancaman,” kata Khairul Fahmi, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)  di Jakarta, Senin, 26 Desember 2016.

Selain ibu kota negara dan kota-kota utama, Khairul mengatakan, pemerintah juga masih harus ekstra waspada di daerah Nusa Tenggara. Hal ini mengingat banyak alumni (true believer) Jamaah Islamiyah dan Mujahidin Indonesia Timur (Kelompok Santoso) yang berasal ataupun berkiprah di wilayah itu.

Sasaran utamanya, kata dia, tetap area publik, fasilitas keamanan, serta pemerintah yang lemah dan personelnya. Alat yang digunakan tidak akan jauh dari bahan peledak rakitan, senjata api, secara sporadis dan simultan. Tujuannya, menimbulkan kepanikan, keresahan, dan tentu saja menunjukkan eksistensi. Soalnya, setiap kelompok penggemar itu saling bersaing.

”Menyikapi itu, juga potensi meningkatnya aktivitas penanggulangan teror ke depan, Polri dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) perlu mengatasi kekurangpiawaian menyampaikan dan mengelola informasi kinerja dan agenda aksinya,” kata Khairul.

Dia menilai, harus ada cara komunikasi yang tepat dan berkualitas untuk menjawab skeptisisme dan kritik publik bahwa penegakan hukum terhadap terorisme adalah upaya kooptasi atau bahkan bagian dari isu lain yang tengah menjadi perhatian masyarakat. Apalagi, saat ini, pernyataan resmi Polri bukanlah satu-satunya sumber informasi bagi masyarakat. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan, informasi dari pihak lain berpotensi lebih meyakinkan dan mengambilalih pembentukan persepsi jika pernyataan yang dikeluarkan Polri ataupun BNPT lemah dan tidak cukup persuasif.

”Menurut saya, penegakan hukum, peran intelijen keamanan dan komunikasi politik pemerintah harus dikedepankan. Bagaimanapun, perang global melawan terorisme telah gagal. Bukannya mereda, kelompok teror bahkan bermetamorfosis menjadi kelompok aksi insurgensi dengan persenjataan memadai, dukungan logistik, dan teroganisasi rapi,” katanya.

Khairul menjelaskan, bicara insurgensi, tentu saja lawan efektifnya adalah operasi militer. Namun, dia berharap, semua tidak mengarah dan digiring ke sana. Biaya untuk itu sangat mahal dan lebih baik digunakan untuk memperkuat daya tahan masyarakat. Alasannya, virus terorisme masih akan tetap eksis selama kita belum bisa menghilangkan ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan.

”Polri dan para pemangku pemberantasan terorisme jangan kehilangan kecerdasan. Kegagalan meyakinkan masyarakat hanya akan berarti satu hal. Kehilangan sumber informasi terbaiknya, yaitu masyarakat,” ujarnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat