kievskiy.org

Jual Beli Jabatan Pintu Masuk Korupsi

KEPALA Komisi Aparatur Sipil Negara Waluyo menyampaikan paparannya terkait praktik jual beli jabatan di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis 12 Januari 2017. Beserta sejumlah pembicara lain, diskusi ini menegaskan kalau jual beli jabatan adalah pintu awal masuknya korupsi yang lebih besar.*
KEPALA Komisi Aparatur Sipil Negara Waluyo menyampaikan paparannya terkait praktik jual beli jabatan di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis 12 Januari 2017. Beserta sejumlah pembicara lain, diskusi ini menegaskan kalau jual beli jabatan adalah pintu awal masuknya korupsi yang lebih besar.*

JAKARTA, (PR).- Isu jual beli jabatan yang mencuat pasca ditangkapnya Bupati Klaten, Sri Hartini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi seolah menyadarkan publik kalau praktik korupsi di daerah masih begitu banyak. Selain praktik politik dinasti, jual beli jabatan juga diyakini menjadi gerbang korupsi yang menjamur di beberapa daerah. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Ade Irawan mengatakan praktik jual beli jabatan ini merupakan pintu masuk ke korupsi yang lebih luas. Untuk mengamakan posisi, birokrat dituntut terus melayani pejabat politik untuk terus menang dalam Pemilihan Kepala Daerah. Dalam praktik ini birokrat dipaksa untuk membeli jabatan sehingga kalau tak mau menyetor, karir yang bersangkutan bisa dipastikan terhambat. "Supaya posisinya aman ya harus terus melayani kepala daerah atau pejabat yang lebih tinggi tadi. Mereka sediakan logistik untukk memenangkan kandidat tertentu," kata Ade dalam diskusi 'Jual Beli Jabatan: Modus Baru Korupsi' di Jakarta, Kamis 12 Januari 2017. Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depan pejabat mengalami disorientasi dari yang seharusnya melayani masyarakat malah menghabiskan waktu untuk melayani pejabat politik. Padahal birokrasi seharusnya memainkan peran penting sebagai eksekutor program pemerintah dan pelayan masyarakat. "Bisa jadi dalam jangka panjang Indonesia jadi negara gagal kalau persoalan birokrasi tidak diselesaikan," ucapnya. Dalam penelitian yang dilakukan ICW sejak 2004 hingga 2016, birokrasi memang menempati urutan pertama sebagai pelaku korupsi disusul anggota DPRD dan DPR serta kepala daerah. Selain faktor internal untuk berbuat korupsi seperti pemerasan, meminta uang, manipulasi tender, hingga proyek atau kegiatan fiktif, korupsi yang dilakukan birokrat juga terjadi karena adanya tekanan dari kepala daerah, legislatif maupun pejabat tinggi di atasnya. "Ada faktor utama (birokrasi melakukan korupsi), yakni tekanan dari atasan. Kalau di daerah, kepala daerah atau DPRD yang memaksa (birokrat) korupsi. Makanya dalam temuan kami birokrasi hanya eksekutor keputusan yang dibuat atasan," ucapnya. Sementara itu, Direktur Ekesekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng menuturkan tantangan otonomi daerah saat ini memang berkutat pada belum banyaknya birokrat yang memiliki integritas dan kapasitas. Karena jika melihat pada anggaran, saat ini transfer uang ke daerah dari pusat sudah cukup besar. Tantangannya adalah bagaimana membuat otoritas dikelola akuntabel dan efektif. Saya selalu katakan, faktor kepala daerah adalah faktor yang sangat signifkan. Maju mundurnya suatu daerah bergantung pada pemegang kuasa, pemegang uang dan kordinasi dengan aparatur di bawahnya. Maka kapasitas dan integritas kepala daerah sangat krusial," kata Robert. Oleh karena itu, komersialisasi bentuk jual beli jabatan yang dilakukan kepala daerah kepada bawahannya adalah korupsi yang sangat jahat. "Kepala daerah minta uang ke kepala dinas, lalu kepala dinas minta ke jajaran di bawahnya, dan seterusnya. Maka korupsi di level kepala daerah, itu yang harus dibendung di awal," ucapnya. Sementara itu, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, Waluyo menuturkan selama 2016 pihaknya menerima sebanyak 278 pengaduan praktik jual-beli jabatan. Dari jumlah tersebut 205 di antaranya sudah berhasil diselesaikan dan yang lainnya masih dalam proses meskipun ia akui tidak semuanya dapat diproses karena tidak cukup bukti melainkan hanya bersifat perspektif pengadu. "Dari 278 pengaduan tersebut ada macam-macam modus yang dilakukan oleh oknum pejabat dalam melakukan praktik jual-beli jabatan. Ada 136 menyangkut sistem terkait pemilihan dengan jabatan pimpinan tinggi, mengenai proses apakah dari aspek metodenya, pemilihannya dan pelaksanaannya, kemudian kedua adalah pelanggaran nilai dasar kode etik perilaku, ini baru 35," ucapnya. Meskipun begitu, diakuinya KASN kerap menemui kesulitan dalam mencari saksi yang mengetahui jual beli jabatan. "Berbeda dengan operasi tangkap tangan yang sudah cukup informasi dan bukti. Kami berharap ke depan bisa diberikan kewenangan lebih dalam memberikan rekomendasi sanksi terhadap pejabat yang terbukti jual beli jabatan," ucapnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat