kievskiy.org

Ini Konsep Pemerintah tentang Metode Penghitungan Suara dan Kursi Partai Politik

Panitia Pemungutan Suara (PPS) memanggul kotak berisi surat suara.*
Panitia Pemungutan Suara (PPS) memanggul kotak berisi surat suara.*

JAKARTA, (PR).- Pemerintah memandang, penghitungan dengan metode kuota hare tidak memberikan jaminan keadilan perolehan suara dan kursi bagi setiap partai politik. Metode ini memang pernah dipakai dalam Pemilu 2014. Dengan metode ini, pemerintah memandang tidak ada cut off yang pasti, berapa porsi minimal agar partai berhak mendapatkan kursi.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjelaskan, dalam kuota hare, partai dengan perolehan suara 0,44 atau 44 persen dari harga kursi atau bilangan pembagi pemilih (BPP) berhak mendapatkan kursi. Dengan konsep ini, terdapat jarak 0,56 atau 56 persen antara sesama partai yang memperoleh kursi dibandingkan BPP.

"Metode kuota hare tidak konsisten dan menimbulkan paradoks penghitungan. Metode ini tidak lagi digunakan oleh beberapa negara," kata Tjahjo di Jakarta, Kamis, 8 Juni 2017.

Konsekuensi metode ini, perolehan suara Partai E tiga kali lipat lebih besar dibandingkan Partai A. Namun keduanya sama-sama berhak mendapatkan satu kursi. (Simulasi I).

Simulasi I

Tjahjo menjelaskan, hasil simulasi ini menunjukkan:

1. Distribusi 10 kursi terbagi pada 7 parpol. Parpol terkecil yang memperoleh kursi (Partai H) porsi suara dibanding harga kursinya sebesar 0,94 atau 94 persen.

2. Partai yang memperoleh 2 kursi, yaitu Partai C, E, dan G harus membayar 0,71 atau 71 persen sampai dengan 0,72 atau 72 persen dari harga kursi atau BPP.

Paradoks perhitungan

Metode kuota hare, kata Tjahjo, juga memunculkan paradoks penghitungan. Paradoks terjadi melalui penerapan ambang batas parlemen. (Simulasi II) 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat