kievskiy.org

102 Perguruan Tinggi Swasta Terancam Ditutup

JAKARTA, (PR).- Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) sedang memperjuangkan sebanyak 102 perguruan tinggi swasta yang berada dalam masalah agar tidak ditutup. Aptisi meminta waktu hingga akhir tahun kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

Ketua Aptisi Jabar, Eddy Jusuf menuturkan, Aptisi telah beberapa kali beraduiensi dengan pemerintah terkait kondisi PTS yang dianggap kurang berkualitas. Menurut dia, dari 243 PTS yang dinonaktifkan pada 2014, setelah dilakukan pembinaan, hanya 129 yang dinyatakan masih tetap bermasalah. Dari 129 tersebut, Kemenristekdikti akhirnya resmi menutup 25 PTS.

“Jadi intinya, kalau dilakukan pembinaan terus menerus, PTS yang bermasalah ini bisa meningkatkan mutunya, memenuhi standar nasional. Tapi itu tergantung keinginan dari PTS nya juga. Kami sudah meminta agar yang 102 ini, jangan dulu ditutup, tapi lakukan pembinaan dan pengawasan lagi. Kalau yang 25 ini kan, mereka (PTS) sendiri sudah nyerah, tak ingin berbenah,” ujar Eddy kepada “PR” dihubungi dari Jakarta, Kamis 19 Oktober 2017.

Rektor Universitas Pasundan ini menjelaskan, permasalahan mutu PTS bisa didorong melalui pendampingan akreditasi. Kendati demikian, pemerintah dan pihak yayasan perlu bersinegis. “Maka muncul skema merger. Jadi nanti PTS-PTS yang susah bertahan bisa merger dengan PTS yang bagus. Keberadaan PTS ini masih penting bagi peningkatan kualitas pendidikan tinggi nasional. Jadi bukan PTS terlalu banyak atau tidak, kalau banyak tapi semua berkualitas, ya gak masalah,” ucap Eddy.

Merger

Rektor Universitas Tarumanagara (Untar) Jakarta, Agustinus Purna Irawan, menuturkan, jumlah PTS yang saat ini mencapai tak kurang dari 4.400 kampus merupakan konsekuensi dari jumlah perguruan tinggi yang tidak bisa menampung semua mahasiswa. Menurut dia, PTS menjadi solusi agar masyarakat mampu mengakses pendidikan ke jenjang tertinggi.

“Sedangkan kampus negeri sekitar 150an. Artinya memang ketergantungan terhadap PTS cukup besar. Namun demikian, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa kualitas PTS sangat bervariasi. Yang penting adalah, bagaimana proses pembelajaran di PTS bisa menyelenggarakan jaminan mutu yang baik. Fasilitas pendukung dan kondisi internal yang baik. Karena bagaimana pun, lulusan dari perguruan tinggi harus punya standar minimal mutu yang sama antara PTN dan PTS,” ujarnya.

Agustinus mengatakan, PTS yang tidak mampu meningkatkan kualitas dan bahkan tidak memenuhi standar nasional, lebih baik dimerger. Penutupan menjadi langkah terakhir jika pihak kampus tidak bisa diajak bekerja sama. “Mengelola perguruan tinggi itu tidak mudah, apalagi kalau hanya mengandalkan biaya yang ditarik dari mahasiswa saja. Makanya, peran alumni menjadi sangat penting. Di banyak perguruan tinggi besar, alumni jadi salah satu pihak yang ikut memajukan kampus dan menjaga mutunya. Kalau mereka tidak mampu, memang harus mereger, mau tidak mau. Tidak mungkin mereka tetap bertahan dengan kualitas yang rendah,” ujarnya.

Ketua Harian Alumni Untar Hadi Cahyadi menambahkan, saat ini banyak PTS baru yang mampu menarik perhatian masyarakat melalui pemasaran yang kreatif. Kendati demikian, kampus tersebut belum teruji. “Kalau mau melihat PT itu bagus atau tidak, pertama bisa dilihat dari aluminya. Hari ini mungkin yang di Jakarta mungkin banyak PT yang memiliki marketing position yang bagus, tapi kalau melihat alumninya belum terbukti. Jadi hati-hati juga,” ujarnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat