kievskiy.org

Jalan Daluang Seorang Edi Dolan

SENIMAN daluang Edi Dolan memotong kulit kayu saeh untuk menjadikannya kertas daluang di Perpusanas Jakarta, Minggu, 16 September 2018. Edi menjadi satu dari sedikit seniman yang mencoba melestarikan kembali jenis kertas kuno ini.*
SENIMAN daluang Edi Dolan memotong kulit kayu saeh untuk menjadikannya kertas daluang di Perpusanas Jakarta, Minggu, 16 September 2018. Edi menjadi satu dari sedikit seniman yang mencoba melestarikan kembali jenis kertas kuno ini.*

PELUKIS dan ahli kaligrafi Edi Dolan bisa saja berkarya sesering mungkin dengan media kanvas misalnya. Seniman kelahiran Jepara tahun 1969 yang besar di Bandung ini, memang sudah memulai aktivitas seninya sejak 1990-an. Namun, dia memilih media yang cukup sulit untuk didapat maupun dibuat. Media itu bernama daluang.

Mungkin tak banyak generasi kini yang mengenal daluang. Jenis kertas bertekstur kasar yang dibuat dari kulit kayu pohon saeh (Broussonetia Papyrifera Vent) ini memang warisan dari masa lampau.

Berdasarkan penelitian, daluang atau yang di suku Jawa disebut dluwang dan di Bali disebut ulantaga ini ramai digunakan pada sekitar Abad ke-14. Nama daluang juga sudah disebut pada abad 9 dalam Kakawin Ramayana dan Kakawin Sumanasantaka pada abad 12 merujuk kepada jenis pakaian dari kulit kayu yang digunakan kaum petapa.

Daluang juga menyimpan kesakralan. Misalnya di agama Hindu digunakan untuk menuliskan cerita wayang beber dalam bentuk gambar atau sebagai pakaian pelengkap para pandita Hindu. Sementara di era Islam, daluang sempat mengalami masa emasnya karena sering ditanam di sekitar masjid agar para santri mudah mengambil dan membuat kertas sendiri untuk keperluan belajar.

Adapun Edi, mengenal daluang lewat filolog UPI, Dr. Tedi Permadi yang bisa disebut sebagai pelopor lahirnya kembali jenis kertas yang pernah hilang ini. Diperkenalkan pada 2007, secara konsisten Edi mulai dikenal sebagai salah satu maestro kertas ini. Melestarikan tradisi, menjadi alasan Edi tetap setia berkarya bersama daluang.

"Daluang ini mengandung nilai tradisional, sejarah, dan historis dalam tradisi kuno. Selain itu ada nilai plusnya dalam seni hingga nilai ekonomi kalau bisa dibawa dengan benar," kata Edi saat ditemui "PR" di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Minggu (16/9/2018).

Ketekunan, kata Edi, memang harus jadi kunci ketika dirinya memilih berkarya lewat daluang. Sebagai salah satu jenis kertas kuno, tentu tak mudah mendapatkan kertas ini. Edi pun harus membuat daluangnya sendiri. Mulai dari menanam kayunya di sepetak lahan milik orang tua di daerah Soreang, Kabupaten Bandung hingga mengolahnya menjadi kertas.

Butuh waktu setidaknya tujuh hari untuk membuat kulit kayu ini menjadi kertas. Mulai dari proses perendaman kulit kayu yang telah digulung di air panas dengan soda kue, pembersihan kulit kayu setelah direndam hingga memotong, meratakan, dan mengeringkannya agar menjadi selembar kertas. Belum lagi menunggu pohon berusia setahun agar siap ditebang.

"Walaupun sekarang karena permintaan mulai banyak, pohonnya belum sempat gede sudah ditebang. Dulu kondisinya justru terbalik, pak Tedi dan timnya pernah bikin hutan daluang di Garut, namun karena barang banyak tapi yang butuh sedikit, akhirnya petani beralih. Sekarang pengadaan daluang ya dari pohon kami di Soreang," ucapnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat