kievskiy.org

Kerukunan, Aset Indonesia di Tengah Keberagaman

WARGA melintas di depan mural bertema keberagaman umat beragama di Marunda, Jakarta, Selasa, 13 November 2018. Mural tersebut sebagai media edukasi kepada masyarakat agar selalu menjaga toleransi dan persatuan bangsa meskipun berbeda suku dan agama.*
WARGA melintas di depan mural bertema keberagaman umat beragama di Marunda, Jakarta, Selasa, 13 November 2018. Mural tersebut sebagai media edukasi kepada masyarakat agar selalu menjaga toleransi dan persatuan bangsa meskipun berbeda suku dan agama.*

JAKARTA, (PR).- Keragaman yang relatif bisa dijaga dengan baik di Indonesia hendaknya menjadi aset yang terus dipelihara sebagai bagian dari Indonesia yang menginspirasi perdamaian dunia. Hal ini disampaikan oleh Ketua Jabhat Al-A'lam Islami Lebanon Syekh Zuhair Juaid saat berkunjung ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Jakarta, Jumat 7 Desember 2018.

Menurut Syekh Zuhair, NU sebagai salah satu organisasi massa Islam dengan jamaah yang banyak menjadi satu golongan yang berpengaruh dalam menjaga keragaman ini. "Sepengetahuan saya, Indonesia memiliki 270 juta penduduk, dengan banyak keragaman, tapi tetap rukun. Ada konsep tasamuh (berlaku baik, lemah lembut) pada masyarakatnya," kata Syekh Zuhair. Dia megunjungi PBNU untuk menjadi narasumber dalam seminar bertajuk "Peran Umat Islam Indonesia dalam Membangun Peradaban Dunia".

Menurut beliau, jika dilihat dari perspektif Islam, maka konsep ini jelas sejalan dengan perangai Rasulullah yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Syekh Zuhair menyebut terminologi rahmat cakupannya luas, tidak hanya terbatas pada saudara seiman saja tetapi juga sesama manusia. "Semuanya masuk kepada rahmatan lil alamin. Dan itu saya lihat ada dalam diri jamiyatul NU," ucap dia.

Ia juga sempat mengungkapkan kekagumannya kepada NU. Pasalnya, tidak ada sebuah organisasi sosial keagamaan di dunia yang pengikutnya mencapai 91 juta seperti yang terjadi pada NU. Dia menilai, apa yang ada pada tubuh NU sama seperti warisan para utusan.

"Rasulullah tidak mewariskan harta dan jabatan kepada umatnya, melainkan ilmu. Kita di sini kumpul bukan karena kiai Sa'id banyak uangnya, tapi karena hati kita memang cinta kepada Nahdlatul Ulama. Maka kemudian kita datang ke sini. Kita ikut kepada Nahdlatul Ulama," ucap dia.

Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj yang juga menjadi pembicara dalam seminar ini memaparkan sejarah antara nasionalisme dengan Islam yang sesungguhnya tak perlu diperdebatkan lagi. Menurut dia, nasionalisme di Indonesia masih berada di rel ke-Islam-an karena dirumuskan oleh para Ulama.

"Ada KH Hasyim Asy'ari, Ki Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan. Mereka ini yang ikut merumuskan ide nasionalisme di Indonesia," ucap pria yang akrab disapa Kiai Said ini.

Sementara jika merunut sejarah, nasionalisme di Timur Tengah kerap mendapat pertentangan dari kaum agama karena dibangun oleh ide terlampau Barat seperti kapitalisme, liberalisme, atau sekularisme. Hal ini di antaranya seperti yang terjadi di Turki paska Kekhalifahan Utsmani runtuh.

"Nama Muhammad enggak boleh lagi diganti jadi Mehmet. Rajab, Tayib diganti jadi Recep Teyep, enggak ada Bahasa Arabnya. Ada agen yang menggerogoti khilafah dari dalam. Yakni Mustafa Kemal Ataturk. Khalifah terakhir, Abdul Hamid digulingkan dari tahta singgasana Ustmaniyah, dan diusir ke Jerman. Bubarlah sistem khilafah (yang berdiri) sejak Sayyidina Abu Bakar As Siddiq sampai Abdul Hamid itu," kata dia.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat