kievskiy.org

Jepang Krisis Populasi, 450 Sekolah Tutup Permanen Setiap Tahunnya

Ilustrasi-Warga Jepang diantara jalanan Kota yang lengang. Populasi penduduk di negara ini diperkirakan menyusut hingga 40 persen pada tahun 2060.
Ilustrasi-Warga Jepang diantara jalanan Kota yang lengang. Populasi penduduk di negara ini diperkirakan menyusut hingga 40 persen pada tahun 2060. /Pixabay.com/ANTHR_Photoblog

PIKIRAN RAKYAT – Akibat angka kelahiran anjlok, ratusan sekolah di Jepang terpaksa tutup permanen setiap tahunnya. Terutama di daerah pedesaan seperti Ten-ei, area ski pegunungan dan mata air panas di prefektur Fukushima.

Depopulasi yang cenderung cepat ini dinilai sebagai masalah regional Asia. Biaya membesarkan anak salah satunya menjadi sebab angka kelahiran yang menyusut di negara-negara seperti Korea Selatan dan China. Namun, di antara mereka, Jepang mengalami krisis populasi paling akut.

Perdana Menteri Fumio Kishida telah menjanjikan langkah-langkah terobosan dari pemerintah untuk meningkatkan angka kelahiran, termasuk melipat gandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak, serta menyejahterakan lingkungan pendidikan.

Kelahiran anjlok hingga mencapai kurang dari 800.000 anak per tahun 2022, rekor paling rendah di negara itu. Pemerintah menaksir depopulasi ini terjadi delapan tahun lebih cepat dari yang mereka antisipasi.

Baca Juga: Ketum PAN Zulkifli Hasan Soal Wacana Koalisi Besar: Nanti Tentu Ada Diskusi Lanjutan

Buntutnya, sekolah-sekolah umum baik di kota dan pedesaan di Jepang mendapat pukulan telak, karena tak lagi bisa beroperasi tanpa adanya regenerasi siswa baru.

Pemerintah mencatat sekitar 450 sekolah ditutup setiap tahunnya. Bila ditotal, antara tahun 2002 hingga 2020, hampir 9.000 tutup permanen, yang akhirnya menyebabkan daerah-daerah kecil mulai tidak diminati pemukim.

“Saya khawatir orang tidak akan menganggap daerah ini sebagai tempat pindah memulai sebuah keluarga jika tidak ada sekolah menengah pertama,” kata Masumi, ibu dari siswa terakhir di daerah Yumoto, Eita.

Eita Sato dan Aoi Hoshi adalah dua dari sekian siswa terakhir yang terdampak. Mereka lulusan satu-satunya sekaligus yang terakhir dari SMP Yumoto, di bagian pegunungan Jepang utara. Sekolah yang berusia 76 tahun itu kini akan ditutup rapat selamanya, usai tahun ajaran selesai.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat