kievskiy.org

3 Alasan Jansen Sitindaon Tak Setuju Kaesang Ketum PSI Disamakan dengan Moeldoko

Ilustrasi partai Demokrat. Jadi Tersangka Korupsi, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum Mundur dari Jabatan, 23 Februari 2013.
Ilustrasi partai Demokrat. Jadi Tersangka Korupsi, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum Mundur dari Jabatan, 23 Februari 2013. /Antara Foto/Muhammad Adimaja Antara Foto/Muhammad Adimaja

PIKIRAN RAKYAT – Jansen Sitindaon mengungkap tiga alasan dirinya tidak setuju kasus Kaesang Pangarep disamakan dengan Moeldoko. Perbedaan mendasar menurutnya di antara kedua kasus itu adalah perkara Kartu Tanda Anggota (KTA).

Elite Demokrat itu menyebut nama Moeldoko memang muncul saat Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (Ketum PSI) belum lama ini. Dalam cuitannya lewat akun X (Twitter) pribadinya, @jansen_jsp, Jansen membeberkan alasan ketidaksetujuannya.

"Unik TL sejak malam tadi sampai hari ini. Mas Kaesang yg jadi Ketum PSI, Muldoko pun ikut dibahas. Dan dijadikan perbandingan. Saya tidak ingin masuk mencampuri urusan partai orang, krn itu hak masing2 partai utk mengatur organisasinya," ujar Jansen Sitindaon.

3 alasan Jansen Sitindaon tak setuju kasus Kaesang Pangarep jadi Ketum PSSI disamakan dengan Moeldoko

Baca Juga: Media Asing Soroti Kaesang Pangarep Jadi Ketum PSI, Singgung Soal Dinasti Politik

  1. Moeldoko tidak punya KTA Demokrat, Kaesang Pangarep punya KTA PSI

    Menurut Jansen, Moeldoko diibaratkan sebagai begal karena ia kalah di tingkatan pengadilan berkaitan dengan sengketa Partai Demokrat. Hal ini berbeda dengan Kaesang Pangarep yang sudah menjadi anggota PSI, memiliki KTA, sehingga bisa menjadi Ketum PSI.

    “Muldoko itu sepenuhnya, kalau istilah publik selama ini menyebut “begal”. Itu maka dia kalah di semua tingkatan pengadilan. KTA Demokrat dia tidak punya. Dia tidak pernah sedetikpun masuk jadi kader dan/atau anggota Partai Demokrat. Itu perbedaan utama dan mendasarnya,” ujarnya.

  2. Ada AD ART yang mengatur

    Baca Juga: Soal Peluang Megawati-SBY Bertemu, Jansen Sitindaon: 'Tembok Berlin' Indonesia Akhirnya Runtuh

    Jansen Sitindaon menyebut aturan Demokrat menjadi ketua umum adalah melalui Kongres Partai. Seseorang yang ingin menjadi ketua harus memenangi suara mayoritas DPC dan DPD partai se-Indonesia, ada syarat lain yang juga wajib dipenuhi.. Hal sama berlaku bagi yang ingin menjadi ketua DPC atau DPD partai tersebut.

    “Atau jika lewat jalur Kongres Luar Biasa (KLB), syarat kehadiran KLB-nya minimal: 50 + 1 DPC dan 2/3 DPD. Ini baru KLB itu sah. Anggaplah misalnya Muldoko punya KTA, syarat kuorum ini juga tidak terpenuhi di KLB Sibolangit,” ujarnya.

    “Jadi semua aspek yg dia lakukan dari yg subjektif terkait syarat diri, sampai penyelenggaraan KLB-nya sendiri memang tidak terpenuhi sesuai dgn UU Parpol dan AD/ART Partai Demokrat yg telah disahkan Pemerintah cq Negara,” katanya melanjutkan.

  3. AD ART harus disahkan Kemenkumham

    Berkaitan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga tersebut, data itu harus disahkan terlebih dahulu oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) atau Kemenkumham. Publik bisa mencari tahu tata cara pengambilan keputusan setiap partai,  jenis-jenisnya, dan sebagainya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat