kievskiy.org

Pemilu 2024 di Tengah Demokrasi yang Rusak, Sistem Bermasalah dan Ongkos Politik Mahal

Seorang warga negara Indonesia (WNI) mencelup jarinya pada tinta usai menyalurkan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pemilu 2024 di Pusat Dagangan Dunia Kuala Lumpur (WTC), Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu, 11 Februari 2024.
Seorang warga negara Indonesia (WNI) mencelup jarinya pada tinta usai menyalurkan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pemilu 2024 di Pusat Dagangan Dunia Kuala Lumpur (WTC), Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu, 11 Februari 2024. /Antara/Rafiuddin Abdul Rahman

PIKIRAN RAKYAT - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Usep Hasan Sadikin, menilai, terlalu banyak orang menyimpan harapan besar kalau pemilu berperan signifikan mengubah suatu negara dalam berdemokrasi. Padahal, pemilu hanya salah satu aspek saja dari demokrasi.

"Sehingga, bila kita melihat pemilu yang sekarang ini, jangan dilepaskan dari konteks demokrasi Indonesia yang trennya turun secara signifikan," tuturnya, Jumat, 9 Februari 2024.

Menurutnya, sejak tahun 2009 hingga sekarang, situasi demokrasi di Indonesia mengalami tren penurunan yang signifikan. Mengutip lembaga pemeringkat demokrasi seperti The Economist Democracy Index dan Freedom House Democracy Index, beberapa tahun ke belakang, Indonesia sempat dikenal sebagai negara dengan kategori demokrasi sepenuhnya.

Namun, semakin ke sini, predikat demokrasi Indonesia menurun sehingga disebut 'demokrasi setengah hati', 'demokrasi yang sakit', atau bahkan 'demokrasi yang cacat'.

Menurunnya indeks demokrasi Indonesia beriringan dengan permasalahan pemilu. Sebelum Pemilu 2024, Indonesia menghadapi persoalan dari segi peserta pemilu, seperti calonnya yang bagus, tapi partai politiknya tidak.

"Nah, di konteks Pemilu 2024 ini, kita menghadapi masalah dalam institusi peradilannya, seperti putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres. Putusan MK yang berkaitan dengan pemilu. Itu menunjukkan buruknya peradilan pemilu," tuturnya.

Di tengah situasi demokrasi yang 'cacat' itu, Usep menilai, pelaksanaan pemilu saat ini juga setidaknya diwarnai oleh dua permasalahan mendasar yakni sistem pemilu yang menyimpang dan buruknya kualitas partai politik. Keduanya berdampak kepada kualitas pendidikan politik di masyarakat.

Sistem pemilu

Terkait dengan sistem pemilu yang menyimpang, Usep mengatakan, Indonesia salah memilih varian dari sistem pemilu. Selama ini, Indonesia menerapkan sistem proporsional, khususnya sistem proporsional terbuka.

Pada dasarnya, sistem proporsional menekankan kerja pengorganisasian partai politik. Tapi, dalam kenyataannya, para pemilih selama ini terbiasa dengan memilih individu secara langsung.

Hal ini dinilainya tidak luput dari trauma atas politik Orde baru ketika partai politik begitu dibenci. Pada saat bersamaan, masyarakat mengalami depolitisasi masif, baik di media massa sampai kampus. Bahkan, organisasi pemenang pemilu pada era itu tidak disebut partai.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat