kievskiy.org

Sanksi Ringan untuk Pegawai KPK yang Terlibat Pungli Cederai Rasa Keadilan

Sebanyak 78 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbukti bersalah dalam perkara pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK melaksanakan sanksi permintaan maaf secara serentak di Gedung Juang KPK, Jakarta.
Sebanyak 78 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbukti bersalah dalam perkara pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK melaksanakan sanksi permintaan maaf secara serentak di Gedung Juang KPK, Jakarta. /KPK

PIKIRAN RAKYAT - Permintaan maaf secara terbuka dari 78 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbukti melakukan pungutan liar di Rutan KPK menuai kritik dari kalangan akademisi dan pegiat antikorupsi.

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai, sanksi etik berupa permintaan maaf terbuka itu sangat lemah, meski prosedurnya memang sesuai aturan.

Akan tetapi, keseluruhan peristiwa tersebut mencerminkan adanya problematika di KPK setelah lembaga antirasuah tersebut mengalami perubahan sebagai dampak dari revisi UU KPK.

"Memang UU KPK itu problematik. Tidak memberikan kewenangan kepada Dewas untuk melakukan pemberhentian (pegawai yang terbukti melanggar etika). Tapi, Dewas pun ketika membentuk peraturan tentang kode etik dan penegakannya, itu juga sangat lemah," katanya, Rabu, 28 Februari 2024.

Selain itu, perubahan pegawai KPK menjadi ASN juga disorotnya. Menurut Zaenur, seharusnya KPK melakukan pengelolaan sumber daya manusia secara mandiri. Tetapi, kemudian KPK tidak bisa benar-benar mandiri dalam kepegawaian karena harus tunduk kepada PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS.

Dalam PP tersebut, pihak yang menjatuhkan sanksi disiplin kepada ASN adalah pejabat pembina kepegawaian. Di dalam KPK, PPK terletak di tangan sekjen. Menurutnya, Dewas KPK juga seharusnya memiliki kewenangan dalam hal disiplin pegawai.

"Seharusnya Dewas diberikan kewenangan cukup untuk menegakan kode etik sekaligus disiplin bagi pegawai, menyimpangi UU ASN. Tapi itu kan tidak terjadi karena pegawai KPK berstatus ASN," katanya.

Ketua IM57+ Institute, M Praswad Nugraha, mengatakan, sebagai institusi yang membawahi isu korupsi, seharusnya KPK memberikan contoh bagaimana cara penanganan dilakukan, termasuk dengan pemberian sanksi serius. Sanksi permintaan maaf secara terbuka dinilainya tidak akan mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

Ia menambahkan, alasan keterbatasan kewenangan dari Dewas yang ditindaklanjuti oleh Sekjen yang tidak dapat memberikan sanksi yang lebih berat, justru merupakan bukti nyata tidak jelasnya fungsi KPK dalam memberantas korupsi.

"Apabila lembaga penegak hukum yang selama ini paling diandalkan oleh publik dalam memberantas korupsi pada akhirnya hanya dapat menyuruh orang meminta maaf, maka kita melihat bahwa revisi UU KPK penuh dengan kepalsuan," katanya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat