PIKIRAN RAKYAT - Menjelang Lebaran atau Idul Fitri, masyarakat berbondong-bondong pulang kampung atau mudik. Jalan, terminal, stasiun kereta api, ramai oleh para pemudik.
Betulkah mudik hanya merupakan fenomena kultural semacam kerinduan kembali ke akar sosial dengan pulang kampung? Atau mudik merupakan cerminan dari dampak kebijakan pembangunan yang tak merata dan cuma terpusat di kota-kota besar?
Sudah beberapa tahun ini, Suminem Darsih (69) tak mudik Lebaran ke kampung asalnya di Yogyakarta. Perempuan yang tinggal di Kampung Citumpeng, Desa Nanggeleng, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat (KBB) tersebut tak lagi pulang kampung setelah kedua orangtuanya di Yogyakarta meninggal. Saat orangtuanya masih ada, ia selalu mudik ke sana.
Darsih tahu betul bagaimana rasanya menjadi pemudik. Pada dekade 1990-an, ia pulang ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api ekonomi.
Ia masih mengingat bagaimana beratnya perjalanan untuk bisa berkumpul dengan orangtua dan keluarga di kampung asal saat itu.
"Tempat duduk tak memadai, aya nu nangtung (ada yang berdiri), lorong kereta dipakai duduk, kaganggu (terganggu) tukang sapu, tukang dagang," kata Darsih di kediamannya, Minggu, 7 April 2024. Fasilitas toilet bahkan digunakan untuk menyimpan barang-barang penumpang.
Gambaran yang diceritakan Darsih sesuai dengan sejumlah jepretan poto IPPHOS yang ditampilkan Perpustakaan Nasional dalam Pengelolaan Konversi Negatif Foto. IPPHOS mengabadikan suasana berjejalnya calon penumpang kereta api yang mudik Lebaran di Stasiun Senen pada 20 Maret 1993.
Dalam foto itu, tampak calon penumpang berebut mencari tempat kosong di gerbong belakang kereta api. Rupanya, berjejalnya penumpang mudik bahkan terjadi puluhan tahun sebelumnya.