kievskiy.org

Efek Bola Salju Bayangi Putusan MK, Jangan Sampai Dugaan Pelanggaran Pemilu Berulang di Pilkada

Ilustrasi Pilkada 2024.
Ilustrasi Pilkada 2024. /Antara/Andreas Fitri Atmoko

PIKIRAN RAKYAT - Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan penjaga pintu terakhir demokrasi. Sifat putusannya final dan binding sehingga tidak memungkinkan adanya upaya hukum lainnya.

Pada 24 April 2024, putusan MK yang memutus sidang sengketa Pilpres 2024 memutuskan menolak keseluruhan gugatan yang diajukan oleh pemohon yang merupakan kandidat pilpres 01 dan 02. Menariknya, dari 9 hakim yang menyidangkan, 3 hakim menyatakan tidak sependapat dan membacakan dissenting opinion.

“Ini menarik meskipun putusannya ditolak keseluruhan, karena putusannya final dan binding maka semua pihak harus menerima. Ini mekanisme konstitusional satu-satunya. Namun ada poin-poin penting yang disampaikan di dissenting opinion,” ujar pengamat politik Universitas Padjadjaran Firman Manan kepada kontributor Pikiran Rakyat Dewiyatini.

Menurut Firman, salah satu pendapat hakim Saldi Isra yang digarisbawahi terkait keadilan substantif yang seharusnya disoroti. Firman mengaku sependapat dengan Saldi yang menyebut evaluasi terhadap pemilu juga dijadikan pijakan untuk pilkada. “Jangan sampai catatan dan dugaan pelanggaran, yang terjadi di pemilu berulang di pilkada,” ucapnya.

Hal lain yang disoroti Saldi berkaitan dengan dua variabel nonelektoral yakni bantuan sosial (bansos) dan mobilisasi aparatur sipil negara yang bisa memberikan pengaruh signifikan dalam pemilu. Dikatakan Saldi, di masa Orde Baru sekalipun pemilu dilaksanakan benar secara prosedural. Tapi tidak, jika bicara substansial. MK sendiri sebetulnya memiliki kewenangan memeriksa perkara terkait prosesnya tidak hanya angka. “Karena putusan MK ini akan memberikan legitimasi pemilu ini berintegritas atau tidak. Putusan tidak berkutat di angka,” ujar Firman.

Firman mencontohkan dalam demokrasi itu bicara tentang equal treatment, di mana para peserta memiliki kesetaraan kesempatan. Posisi peserta harus berada di level yang sama.

Demikian pula pemilih yang harus memiliki hak bebas berpartisipasi. Publik, kata Firman tidak boleh diintimidasi dengan guyuran program pemerintah dan mobilisasi sehingga mereka tidak lagi bebas memilih. “Pemilu jujur dan adil tidak hanya slogan. MK memastikan itu terlaksana dengan benar sehingga pemeriksaan di MK memang harus di area substantif,” katanya.

Ditambah lagi waktu yang pendek seakan-akan membelenggu hakim MK. Mereka, kata Firman, seolah-olah terpaksa mengalah pada hal-hal prosedural dengan alasan waktu yang tidak cukup untuk pembuktian.

Hal lain disoroti Firman, terkait kinerja penyelenggara yang harus independen, imparsial, dan proaktif. Yang terjadi di pusat, lanjut Firman, tidak boleh lagi terjadi di pilkada. “KPUD dan Bawaslu harus mampu menunjukkan kinerja yang lebih lagi saat pilkada,” katanya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat