kievskiy.org

Hari Buruh 1 Mei: Gen Z Belum Sejahtera, Pemerintah Takluk Melawan Pengusaha

Ilustrasi Hari Buruh 1 Mei 2024, kesejahteraan buruh Gen Z belum diperhatikan karena pemerintah dan negara tidak berdaya di depan pengusaha atau korporasi.
Ilustrasi Hari Buruh 1 Mei 2024, kesejahteraan buruh Gen Z belum diperhatikan karena pemerintah dan negara tidak berdaya di depan pengusaha atau korporasi. /Pikiran-Rakyat.com/Akhmad Jauhari

PIKIRAN RAKYAT - Hari Buruh 1 Mei 2024 akan segera tiba. Tanggal tersebut bisa menjadi momentum penting mewujudkan tuntutan buruh yang selalu disuarakan setiap tahun yang tujuannya adalah untuk kesejahteraan seluruh pekerja.

Kondisi buruh muda atau buruh Gen Z perlu diperhatikan terlebih menjelang Hari Buruh 1 Mei 2024 mendatang. Kesejahteraan mereka hendaknya menjadi perhatian utama pemerintah dan pihak terkait, terlebih mereka digadang-gadang akan menjadi bagian dari Generasi Emas 2045.

Buruh Gen Z belum sejahtera

Belum sejahteranya pekerja generasi muda ini menjadi keresahan Ancika (bukan nama sebenarnya). Ia mengaku gaji yang didapatkan dari tempatnya bekerja di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat kurang atau sangat tidak layak karena beban kerjanya yang banyak. Perusahaan itu lebih banyak menerima lulusan SMA karena ingin karyawannya menurut dan tidak berani protes, di sana terdapat lebih banyak anak Gen Z yang lahir pada rentang 1997-2000 yang bekerja di kantor.

"Saya hanya diberi dua hari libur dalam sebulan. Setiap harinya tidak sesuai dengan jam pulang kerja, seharusnya jam 5 sudah pulang tetapi saya pulang malam. Itu sangat tidak layak, akan jadi beban tersendiri bagi saya dan keluarga," ujarnya kepada Pikiran-rakyat.com melalui pesan singkat pada Selasa, 9 April 2024.

Ancika diberi tahu perusahaan tempatnya bekerja bahwa aturan yang diterapkan berbeda dengan perusahaan normal pada umumnya, hal itu bahkan sudah diumumkan sejak wawancara kerja. Beberapa aturan tersebut yakni hari Sabtu dan Minggu ia tetap bekerja, liburnya hanya dua kali per bulannya, tidak ada uang lembur, dan tidak ada cuti PMS (haid).

"Saya sering bekerja melebihi jam kerja. Aslinya jam kerja dari jam 8 sampai jam 5 sore, hanya saja, sering kali pekerjaan-pekerjaan itu harus dikerjakan sampai selesai. Bahkan saya sering pulang malam, apalagi itu hari-hari akhir bulan, karena memang saya kerjanya juga sistem target," katanya.

"Ketika ada karyawan yang mengajukan cuti melahirkan atau cuti hamil, pekerjaan yang ditinggalkan karyawan itu tidak digantikan oleh rekrutmen dari luar, tetapi oleh karyawan lain yang sedang bekerja, itu menyebabkan problem, karyawan lain double job, tetapi penghasilannya tetap, tidak ada bonus atau tambahan," ujarnya melanjutkan.

Perempuan 24 tahun itu mengaku tidak nyaman bekerja di tempat tersebut karena alasan di atas. Selain itu, alasan lainnya adalah kurang profesionalnya pimpinan yang sering meluapkan kekesalan ke semua karyawan meskipun kesalahan hanya dibuat satu karyawan atau divisi. Hal itu sering menyita waktu produktif sehingga turut memperlambat kinerja.

Ketidaknyamanan itu kemudian menuntunnya untuk resign dari pekerjaannya. Gaji yang menurutnya tidak layak dan target yang di luar batas kemampuan rata-rata karyawan juga menjadi alasan ia memutuskan mencari pekerjaan lain. Ada karyawan lain yang justru mengalami 'dibuat tidak nyaman' agar mengundurkan diri, karena jika terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), perusahaan harus memberikan pesangon.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat