kievskiy.org

Ormas Keagamaan Kelola Tambang Dinilai Kontradiktif dengan Prinsip Agama

Ilustrasi tambang
Ilustrasi tambang /PIXABAY/MarvelousPhoto

PIKIRAN RAKYAT - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, melahirkan respons beragam. Pro dan kontra mewarnai keputusan yang di dalamnya terdapat aturan baru yang mengizinkan organisasi masyarakat atau ormas untuk mengelola lahan pertambangan. 

Aturan tersebut tertuang pada Pasal 83A yang membahas soal Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas. 

"Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan," bunyi pasal tersebut. 

Organisasi masyarakat atau ormas adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang salah satu organnya menjalankan kegiatan ekonomi serta bertujuan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat atau umat.

Aktivis lingkungan yang juga merupakan Koordinator Climate Rangers Ginanjar Ariyasuta menyebutkan, keputusan negara memberikan izin pengelolaan tambang batu bara kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Dampaknya kemungkinan besar bisa membuat lingkungan semakin rusak. 

“Tambang batu bara sudah jelas memiliki banyak permasalahan dari hulu ke hilir. Mulai dari deforestasi, pencemaran air dan udara, kerusakan ekosistem, serta emisi karbon. Dampak lingkungan ini juga seringkali berujung ke dampak sosial, kesehatan, bahkan ekonomi. Ini juga kontradiktif dengan ambisi transisi energi berkeadilan yang sedang berjalan,” ucap Ginanjar ketika dihubungi Pikiran Rakyat, Senin, 3 Juni 2024. 

Dia juga menilai, keputusan tersebut kontradiktif dengan prinsip agama. Banyak agama yang mendorong perlindungan lingkungan di ajarannya. Di islam sendiri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memberikan fatwa No.86 Tahun 2023 yang mengharamkan tindakan merusak alam dan berdampak ke krisis iklim. 

“Batu bara sendiri merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar, mulai dari proses pembukaan lahan sampai pengolahan di PLTU Batubara. Jadi, seakan-akan aturan ini mendorong untuk melakukan sesuatu yang haram,” ujarnya. 

Ginanjar juga menilai, langkah penandatanganan PP baru tersebut bertentangan dengan agenda dunia dan Indonesia untuk melakukan transisi energi secepatnya. Padahal, dilanjutkan dia, jika niatnya untuk kesejahteraan umat, ada alternatif lain yaitu memberikan kesempatan ormas untuk mengembangkan energi terbarukan berbasis komunitas. 

Dari riset CELIOS dan 350.org, menunjukkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas dapat menciptakan PDB sebesar Rp 10.529 triliun selama 25 tahun. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat