kievskiy.org

Upaya Menghapus Sekolah Unggulan, Bisakah Zonasi Jadi Solusi?

SEJUMLAH siswa SD membaca buku bersama-sama, saat mengikuti Gebyar Literasi Sekolah Dasar, di Stadion Sidolig, Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung, Kamis, 4 Mei 2017. Gerakan Bandung Juara Maca (Baraca) yang diikuti 12.000 siswa SD se-Kota Bandung itu, untuk menanamkan budaya baca dan bertutur sejak dini.*
SEJUMLAH siswa SD membaca buku bersama-sama, saat mengikuti Gebyar Literasi Sekolah Dasar, di Stadion Sidolig, Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung, Kamis, 4 Mei 2017. Gerakan Bandung Juara Maca (Baraca) yang diikuti 12.000 siswa SD se-Kota Bandung itu, untuk menanamkan budaya baca dan bertutur sejak dini.*

PADA tahun ini, pemerintah mulai berusaha menghilangkan dikotomi antara sekolah unggulan dan nonunggulan. Niat serius tersebut ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17/2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Semangat dari permendikbud tersebut di antaranya untuk menggiring pandangan orang tua siswa agar percaya dengan kualitas semua sekolah, mulai dari SD hingga SMA sederajat.

Untuk memastikan niatnya tersampaikan dan bisa diterima masyarakat, Mendikbud Muhadjir Effendy, kemudian menetapkan zona sebagai landasan utama sekolah dalam merekrut calon siswa. Menurut dia, sistem zonasi secara perlahan dianggap bakal mampu mengikis ketimpangan mutu sekolah. Namun, pada kenyataannya, PPDB berbasis zonasi pada tahun ini belum mendapat dukungan penuh dari orang tua calon siswa dan bahkan sekolah.

Orang tua calon siswa tetap berusaha memasukkan anaknya ke sekolah unggulan alias favorit. Meskipun berjarak cukup jauh dengan tempat tinggalnya. Alasannya, sederhana, orang tua tak akan mau menggadaikan masa depan anaknya dengan memasukkan ke sekolah yang tidak berprestasi dan memiliki sarana dan prasarana memprihatinkan. Di lain sisi, sekolah juga terpaksa menafikan ketentuan zonasi demi memenuhi harapan orang tua sekaligus menjaga agar sekolahnya tetap diisi oleh siswa-siswi yang memiliki Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) tertinggi. 

Alhasil, pihak sekolah pun kelimpungan dalam menerapkan aturan minimal harus menyediakan kuota 20% untuk siswa miskin. Kuota 20% tersebut bagian dari keharusan menerima 90% murid dari zona terdekat. Pihak sekolah juga menyediakan 10% untuk calon siswa di luar zona dari total kuota rombongan belajar. Dengan cara tersebut, jangan heran jika peminat ke setiap sekolah masih bervariasi. Satu sekolah ramai pendaftar sedangkan sekolah lain masih menyisakan banyak bangku kosong, sepi peminat.

Dengan kata lain, upaya menghapuskan cap sekolah unggulan dan nonunggulan ternyata tak bisa selesai dengan penerapan sistem zonasi. Perlu ada intervensi lanjutan dan konsisten yang harus disiapkan pemerintah agar orang tua calon siswa sepenuhnya sepakat dan percaya bahwa kualitas semua sekolah kini telah merata. 

Kualitas guru

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi mengatakan, ke depannya, selain tetap menerapkan sistem zonasi, pemerintah juga harus lebih giat membenahi kualitas guru dan tenaga kependidikan. Juga peningkatan sarana dan prasarana sekolah. Pasalnya, ketimpangan kualitas sekolah sangat dipengaruhi oleh dua hal tersebut. Sekolah dengan cap favorit atau berprestasi hampir pasti memiliki guru yang terlatih sehingga memiliki kompetensi di atas rata-rata.

Sebaliknya, sekolah yang kurang berprestasi alias nonunggulan, itu bukan hanya karena siswanya yang kurang mampu bersaing, tetapi juga karena setiap ruang kelas masih diampu oleh guru yang kurang mendapat pelatihan dari pemerintah. Ibarat pepatah, tak ada prajurit yang lemah, yang ada adalah pemimpin yang kurang cakap memaksimalkan potensi anak buahnya. Dalam konteks sekolah, guru adalah sosok pendidik bagi calon pemimpin generasi bangsa.    

Selain ihwal kompetensi guru yang masih beragam, sebaran dan jumlah guru juga masih jadi masalah. PGRI mencatat jumlah guru masih kurang, sedangkan Kemendikbud mengklaim jumlah guru lebih dari cukup. Kedua data tersebut bisa saja benar. Pasalnya, di kota-kota besar, jumlah guru terkadang lebih dari kebutuhan. Sedangkan di sekolah pelosok masih kerap ditemukan seorang guru mengajar di 2-3 kelas. Bahkan, tak sedikit guru yang harus mengajar di lebih satu sekolah. 

Distribusi dan jumlah guru yang bermasalah membuat peningkatan kualitas pendidikan masih jauh dari harapan. “Akan sulit kalau sistem zonasi ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas guru melalui pelatihan dan pembenahan sarana prasarana. Zonasinya bagus, tinggal selanjutnya konsisten melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan dengan kriteria yang jelas. Terutama evaluasi output dan proses pembelajaran,” kata Unifah.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat