MAJALENGKA,(PR).- Sejumlah murid Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 7 Majalengka di Dusun Sukamaju, Desa Mekarjaya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka sudah empat tahun belajar berhimpitan di ruang kelas yang dulunya bekas bangunan UPT Trasnlok, setelah sekolah mereka di Desa Kertasari digusur akibat pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB).
Murid di sekolah tersebut memang sangat sedikit hanya 27 orang seluruhnya berasal dari warga blok setempat. Sedangkan gurunya 3 orang. Semua murid belajar di satu ruangan yang hanya berukuran sekitar 4 X 6 m, yang kondisinya sudah memprihatinkan. Atap bangunan nyaris ambruk termakan usia, demikian juga dengan langit-langit ruangan dan bagian dindingnya. Maklum bangunan tersebut dibuat sekitar 19 tahun yang lalu saat adanya program transmigrasi lokal akibat konflik di Aceh dan Kalimantan.
Untuk mengefektifkan ruangan belajar, dibuat beberapa sekatan, ada juga yang dibiarkan terbuka, sehingga kelas yang satu dengan kelas yang lain tanpa batas apapun. Ketika satu kelas belajar maka murid yang ada di kelas lain mendengar dengan jelas apa yang dikatakan guru lain.
Sulit bagi mereka untuk belajar dengan konsentrasi penuh karena di satu ruangan sempit dan rusak harus diisi beberapa urid dari berbagai tingkatan kelas, ditambah dengan suhu udara panas. Sebaliknya di saat musim penghujan air menembus genting dan langit-pangit ruangan hingga membasahi buku dan lantai.
Tempat darurat
Menurut keterangan guru di sekolah tersebut Tuswaidin, kondisi belajar seperti itu sudah berlangsung selama kurang lebih 4 tahunan tepatnya sejak tahun 2015 usai penggusuran sekolah mereka. Karena awalnya sekolah berada di Desa kertasari dengan jumlah murid yang lumayan banyak dan gedung sekolah yang permanen.
Namun ketika terjadi penggusuran, sebagian murid pindah ke tempat lain sebagaimana orangtua mereka mendapatkan lahan pengganti. Sebagian lagi pindah ke lokasi trasnlok sehingga mereka melanjutkan sekolah di sana dan gurupun mengajar di sana.
“Belum ada penggantian gedung baru sejak sekolah kami digusur, karenanya murid di sini terpaksa belajar di tempat darurat,” ungkap Tuswaidin.
Untuk belajar ke sekolah lain jaraknya lumayan jauh hingga menjacapi 3 km, tidak ada kendaraan umum sehingga mereka harus berjalan kaki menyusuri perkebunan. Selain itu murid dan orangtua merekapun menghendaki belajar di MI tidak di sekolah SD.