kievskiy.org

Penanganan Kasus Narkoba Masih Tebang Pilih

SUASANA diskusi bertema
SUASANA diskusi bertema

BANDUNG, (PR).- Dalam penanganan kasus narkoba masih ditemukan praktik tebang pilih. Para pesohor masih seringkali diarahkan kepada rehabilitasi, sebaliknya masyarakat biasa divonis hukuman pidana yang berat. Demikian benang merah dalam diskusi "Putusan Rehabilitasi Narkotika: Putusan Hukum Tebang Pilih? yang digelar di sebuah kafe Jalan Tirtayasa Bandung, Jumat 23 September 2016. Program Manager Rumah Cemara Ardhany Suryadharma mengemukakan, mereka pernah melakukan sebuah penelitian yang mengambil sampel data bersumber dari putusan Pengadilan Negeri Surabaya tentang kasus narkotika. Ada 32 putusan yang diteliti dengan melihat kriteria gramatur, melalui operasi tangkap tangan, dan terdakwanya berusia di atas 18 tahun. "Dari 32 kasus yang kami teliti, ternyata hanya 6% atau tiga kasus dari 10% atau enam terdakwa yang terdakwanya diarahkan kepada rehabilitasi. Yang 3 itupun karena mereka ternyata di bawah umur semua,” katanya kepada wartawan selepas diskusi. Meskipun hanya sejumlah putusan itu yang diteliti, tetapi Acil, demikian dia akrab disapa, bisa mengasumsikan kondisi serupa juga terjadi di kota-kota besar lainnya di Indonesia termasuk Bandung. "Saya juga mengusulkan untuk membuat penelitian yang sama di kota lain. Tapi belum terlaksana. Namun pengalaman empiris Rumah Cemara mendampingi terdakwa di Pengadilan Negeri Bandung ya begitu, sama saja. Hampir selalu diarahkan pada sistem hukum pidana (penjara),” tuturnya. Acil tak ingin semua terdakwa yang terjerat narkotika diarahkan kepada hukuman penjara tetapi harus melihat latar belakang si orang itu. Karena tidak menutup kemungkinan orang itu lebih baik direhabilitasi dibandingkan dengan dipenjara agar tidak kembali terjerumus pada narkotika. "Usulan lainnya sih harus memasukkan gramatur ke dalam undang-undang, bukan seperti sekarang yang adanya di SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) dan SEJA (Surat Edaran Kejaksaan Agung). Gramatur ini membedakan apakah seseorang itu merupakan pengguna atau pengedar. Dengan begitu gak akan ada lagi peluang penegak hukum untuk kongkalikong,” kata Acil. Pakar hukum Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar menjelaskan, tebang pilih putusan konteks putusannya bukan hanya di urusan narkotika tapi juga korupsi. Terdapat dua makna tebang pilih, yakni diskriminatif dan juga yang secara hukum sudah waktunya dijadikan perkara yang diangkat ke pengadilan. "Tebang pilih di sini adalah yang diskriminatif dimana para pesohor seperti pejabat, artis atau lainnya hampir selalu diarahkan ke rehabilitasi sedangkan orang yang tidak mampu diarahkan ke hukuman penjara,” kata dia. Mestinya, sambung Yesmil, hakim lebih objektif dengan cara melihat dari sisi hukum, kesehatan maupun sosial. Dia mencontohkan kasus Bupati Ogan Ilir yang secara perundang-undangan antara lamanya dia ditahan dan divonis memang pas. Sehingga putusan yang dijatuhkan majelis hakim untuk membebaskannya tepat. "Bisa saja pesohor itu memang punya hak untuk direhab tapi banyak juga yang seharusnya dihukum tapi tidak. Sementara masyarakat yang tidak punya hampir selalu diarahkan hukum penjara. Mungkin ini karena ketidaktahuan hukum dan ketidakmampuan mendapat bantuan hukum. Karena orang yang punya akses bantuan hukum bisa 'memanipulasi' hukum itu sendiri,” katanya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat