kievskiy.org

Saluran Irigasi Terhambat Normalisasi Sungai di Rancaekek, Kadistan Kabupaten Bandung Angkat Bicara

Petani penggarap Iyah Sariyah (45) menggarap lahan sawahnya yang mulai mengalami kekeringan akibat kekurangan pasokan air di blok Rancakeong, Desa Jelegong, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis, 16 Juli 2020.
Petani penggarap Iyah Sariyah (45) menggarap lahan sawahnya yang mulai mengalami kekeringan akibat kekurangan pasokan air di blok Rancakeong, Desa Jelegong, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis, 16 Juli 2020. /Pikiran-rakyat.com/ADE MAMAD

PIKIRAN RAKYAT – Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Bandung akan segera menyurati pelaksana proyek normalisasi Sungai Cikijing terkait pekerjaan mereka yang menghambat aliran air di saluran irigasi menuju lahan petani.

Soalnya pekerjaan tersebut seharusnya sudah melalui analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Kepala Distan Kabupaten Bandung Tisna Umaran mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Komisi B DPRD Kabupaten Bandung terkait hal itu.

Baca Juga: Waspadai Oknum dalam Penawaran Jasa Badal Haji yang Sedang Marak

"Hasilnya, secara kedinasan kami akan mengirim surat untuk meminta klarifikasi dari pihak pelaksana proyek," ujarnya saat ditemui di Soreang, Jumat, 17 Juli 2020.

Menurut Tisna, amdal yang dilakukan oleh pelaksana idealnya telah membahas soal dampak proyek terhadap saluran irigasi. Kenyataannya, aliran air dari saluran irigasi menuju lahan petani di sekitar lokasi proyek ternyata memang terhambat.

"Kami sudah memeriksa ke lapangan ternyata permukaan Sungai Cikijing yang semula rata dengan sawah sekarang menjadi lebih rendah sampai kedalaman sekitar lima meter. Akibatnya petani harus menggunakan pompa untuk mengalirkan air dan biayannya cukup mahal," kata Tisna.

Baca Juga: Siswi SMP di Palembang Alami Trauma Setelah Diperkosa 4 Orang, Korban: Dia Ini Teman Nongkrong Saya

Lewat klarifikasi tersebut, Tisna berharap pihak pelaksana proyek bisa mencarikan solusi bagi para petani agar tetap bisa mendapatkan pasokan air untuk sawah mereka. Terlebih saat ini memang curah hujan sedang rendah, sehingga air Sungai Cikijing menjadi sumber utama untuk mengairi sawah mereka.

Tisna mengaku bahwa pihaknya sudah membantu para petani dengan peralatan pompa di beberapa titik. Namun beberapa tempat lain hal itu sulit dilakukan karena pelaksana proyek melarang dengan alasan takut terjadi kerusakan terhadap hasil pekerjaan yang belum diserahterimakan.

Di satu sisi, Tisna mengaku memahami alasan dari pelaksana proyek. Namun di sisi lain pelaksana proyek juga harus memikirkan nasib petani yang terdampak karena mereka terancam gagal panen jika tidak mendapatkan pasokan air.

Baca Juga: Royal Enfield Luncurkan Varian Baru Himalayan, Mesin Standar Euro 4 Berbandrol Rp 114 Juta

Seperti diberitakan sebelumnya, petani di Blok Rancakeong, Desa Jelegong, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung mengeluhkan tertutupnya saluran irigasi ke lahan mereka akibat proyek normalisasi Sungai Cikijing. Kondisi tersebut membuat lahan mereka mengalami kekeringan dan terancam gagal panen.

Salah seorang petani, Awo (71) mengatakan, kondisi lahan sawah garapan petani di blok Rancakeong kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. "Sawah kini mengering karena tidak terairi, padahal sudah masuk musim tanam," ujarnya.

Menurut Awo, kondisi tersebut terjadi sejak bejalannya proyek normalisasi Sungai Cikijing di mana bekas galiannya justru menutupi saluran irigasi. Namun hingga saat ini hal itu belum mendapat perhatian dari pihak terkait manapun.

Padahal, kata Awo, tak sedikit petani yang sudah memulai menanam padi di sawah mereka. Akibatnya, tanaman padi tersebut terancam mati kekeringan.

Awo menambahkan, ia dan sejumlah petani sempat berupaya mendapatkan air untuk sawah mereka dengan menyedot air langsung dari Sungai Cikijing. Namun untuk melakukan hal itu, mereka harus mengeluarkan biaya tambahan yang hampir mencapai tiga kali lipat dari biaya produksi normal.

Dalam sebulan, Awo mengaku sedikitnya harus menyedot air sampai tiga kali. Dalam sekali penyedotan, ia harus merogoh kocek sekitar Rp 80.000 untuk sewa mesin, membeli bahan bakar dan juga upah tenaga.

Dalam kondisi seperti itu, Awo pesimistis bisa mendapat keuntungan pada musim tanam kali ini. Itupun jika dengan asumsi tanaman padi masih bisa diselamatkan dan panen bisa dilakukan.

"Rasanya biaya yang dikeluarkan kali ini tidak akan sesuai dengan hasil. Setiap panen paling hanya dapat 2 ton saja. Sedangkan petani penggarap kan hanya mendapat bagian setengahnya," kata Awo.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat