kievskiy.org

Ridwan Kamil Lebih Pilih Bangun Masjid Al Jabbar daripada Transportasi Publik, Pengamat: Menguntungkan Politik

Potret Masjid Al Jabbar hasil desain Ridwan Kamil yang tanpa kubah.
Potret Masjid Al Jabbar hasil desain Ridwan Kamil yang tanpa kubah. /Pikiran Rakyat/Armin Abdul Jabbar Pikiran Rakyat/Armin Abdul Jabbar

PIKIRAN RAKYAT - Peresmian Masjid Al Jabbar menuai pro dan kontra dari masyarakat. Pasalnya tak sedikit masyarakat yang mengkritik soal pembangunan masjid yang menghabiskan dana Rp1 Triliun, dibandingkan perbaikan transportasi umum.

Pengamat Tata Kota, Jejen Jaelani pun buka suara terkait fenomena tersebut.

Menurutnya, dana sebesar Rp1 Triliun dapat digunakan untuk memperbaiki jalan, membangun ruang publik yang dapat diakses masyarakat umum, atau membuat transportasi yang ramah diperbincangkan beberapa bulan terakhir.

"Saya kira itu kebutuhan yang dibutuhkan oleh banyak orang, orang bisa mengakses pusat kota dengan transportasi publik," ujarnya kepada Pikiran-Rakyat.com.

Baca Juga: Pemerintah Harusnya Sadar Masjid Al Jabbar akan Jadi Masjid Wisata, Pakar: Tak Hanya Salat, Warga Pasti Botram

"Namun itu sulit terjadi karena ternyata pemerintah punya arah yang lain, kebutuhan untuk membangun transportasi publik, ruang publik, jalan atau pdam," katanya.

Jejen pun menyinggung soal citra dan identitas menangani pembangunan Masjid Al Jabbar tersebut.

"Tapi kita juga harus ingat di sisi pemerintah, saya kira secara simbolis, berkaitan dengan citra, berkaitan dengan identitas, kepentingan politik," katanya.

Menurutnya, membangun masjid dapat menguntungkan, jika ditanya mengenai pencapaian yang dilakukan saat menjabat, dapat dengan bangga menyebutkan membangun tempat yang khas dan mudah untuk diingat.

"Kalau memperlebar jalan orang lain sudah melakukan, itu kan hal yang rutin, tapi kalau membangun sesuatu yang megah, yang terlihat, ketika ditanya prestasi bisa menyebutkan membangun masjid dengan anggaran Rp1 T, dengan desain berbeda," katanya.

"Itu kelihatan secara citra untuk penguasa untuk politisi itu menguntungkan, untuk pemerintah secara citra juga menguntungkan," jelasnya.

Karena di dalam kultur Indonesia yang mayoritas beragama Islam, lanjut Jejen masjid dianggap pusat kehidupan dan rumah ibadah yang penting.

"Sehingga kalo ada yang membangun masjid wah itu citranya pasti positif walau masih ada kritik dari beberapa pihak, tetapi pasti masih dinilai positif ketimbang membangun transportasi publik," ujarnya.

Baca Juga: Masjid Al Jabbar Jadi 'Waterboom', Pengamat Heran Tidak Ada Petugas atau Papan Peringatan

Kurangnya Ruang Publik Gratis

Jejen juga beranggapan adanya insiden anak kecil yang menggunakan kolam yang ada di lingkungan Masjid Al Jabbar untuk berenang sebagai penanda kurangnya ruang publik gratis, terutama untuk bermain air, yang bisa diakses oleh warga.

"Kalau menurut saya sih ada dua hal ya, satu tadi betul bahwa kita tidak hanya di Bandung, di berbagai Kota juga kita kekurangan ruang publik yang bisa diakses oleh masyarakat kapanpun ya," katanya.

"Jadi dalam arti tuh accessibility-nya mudah, nggak bayar, artinya dimiliki oleh pemerintah kota atau pemerintah daerah," ucap Jejen Jaelani menambahkan.

Selain itu, aspek keamanan dan kenyamanan juga menjadi sesuatu yang menjadi permasalahan tidak hanya di Kota Bandung tapi juga di berbagai daerah lainnya.

"Terus yang kedua juga kan aspek keamanan, aspek kenyamanan. Saya kira di banyak Kota itu jadi masalah yang hampir sama," ujar Jejen Jaelani."Kayak di Bandung, saya kira juga di Bandung punya banyak ruang publik, misalnya Balkot, Gasibu, tapi kan problem-nya secara letak dia terpusat aja gitu di pusat kota," tuturnya menambahkan.

Selain itu, Jejen Jaelani menyoroti bagaimana distribusi ruang publik yang hanya terpusat di Kota menjadi alasan mengapa banyak warga antusias mendatangi ruang publik baru.

"Nah distribusi ruang publik ke daerah-daerah pinggir itu juga salah satu masalah yang saya kira menyebabkan orang ketika ada ruang publik baru atau tempat baru, orang berbondong-bondong, antusias," katanya.

"Jadi di satu sisi memang ada kebutuhan akan ruang publik itu besar tapi disisi lain juga secara desain kita harus menyadari bahwa masjid Al Jabbar ini kan didesain bukan masjid fungsional ya. Maksudnya bukan masjid fungsional kayak di komplek gitu ya, kalau kayak di komplek orang bikin masjid ya orang datang ke situ untuk beribadah, untuk ngaji, selesai," tuturnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat