PIKIRAN RAKYAT - Kehadiran dansa atau tari cara Barat yang dilakukan pasangan pria dan wanita dengan berpelukan atau berpegangan tangan menyulut polemik di Bandung, tempo dulu. Penolakan bermunculan hingga melahirkan gerakan antidansa.
Tulisan koran berbahasa Sunda, Sipatahoenan pada Kamis 8 Februari 1940 mencatat kontroversi dansa di Bandung.
Tulisan bertajuk Soeal Dangsa atau Soal Dansa itu merupakan tanggapan atas tulisan dari Djoeragan Abdoelah di koran yang sama pada 16 Januari yang membela dansa.
Balasannya ditulis Voorzitter (Ketua) Comite Penjelidikan Perdangsaan Bandoeng. Namun, sang ketua tak mencantumkan nama jelasnya.
Yang menarik adalah munculnya nama komite penyelidikan urusan dansa tersebut sebagai penanda persoalan tarian tersebut memperoleh sorotan yang serius.
Tulisan balasan itu dimulai dari tanggapan atas pernyataan Abdoelah yang menyebutkan tidak adanya gerakan antidansa di Turki, Mesir, Tiongkok, dan Jepang.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi di dalam negeri yang para nonoman atau pemudanya melancarkan gerakan antidansa.
"Tangtos teu ajana pergerakan kieu teh, margi di Japan mah aja oge noe darangsa di tempat speciaal toekang dangsa (taxigirls)."
Demikian balasan dari sang ketua yang menyatakan, gerakan antidansa di Jepang dipastikan tak mungkin ada. Soalnya, di Negeri Matahari Terbit itu sudah ada tempat khusus berdansa.