kievskiy.org

Kelompok Petani Gapoktan di Bandung Barat Lawan Tengkulak dengan Pangkas Rantai Pasok

 Ulus Pirmawan (49), petani Gapoktan Wargi Panggupay memperlihatkan komoditas pertaniannya di lahan garapan Gapoktan itu, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Minggu, 21 Mei 2023.
Ulus Pirmawan (49), petani Gapoktan Wargi Panggupay memperlihatkan komoditas pertaniannya di lahan garapan Gapoktan itu, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Minggu, 21 Mei 2023. /Pikiran Rakyat/Bambang Arifianto

PIKIRAN RAKYAT - Harga komoditas hasil bumi kerap melonjak di negeri ini. Namun, nasib petani penanamnya justru guram dan jauh dari sejahtera kendati harga meroket. Musababnya, rantai pasok begitu panjang serta petani tak memiliki posisi tawar dalam penentuan harga.‎ Namun, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Wargi Panggupay di Kabupaten Bandung Barat melawan kondisi tersebut. Mereka membangun sistem agar petani dan pembeli bisa bertemu langsung dan menentukan harga tanpa kehadiran tengkulak. ‎

Ulus Pirmawan, petani 49 tahun asal Desa Suntenjaya, KBB, masih ingat pengalaman orangtuanya menjual hasil pertanian ke tengkulak tempo dulu. "Petani cuma bawa barang (hasil bumi) ke gudang tengkulak," ucapnya di lahan pertanian Gapoktan Wargi Panggupay, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, KBB, Minggu, 21 Mei 2023.

Kendati telah menjual hasil pertaniannya, petani tak langsung memperoleh bayaran dari tengkulak hari itu. Pembayaran dilakukan setelah tengkulak menjual komoditas petani tersebut ke pasar. Berapa harga yang ditetapkan sang pedagang perantara kala menjual ke pasar, para petani tak mengetahuinya.

Yang jelas, tutur Ulus, tengkulak dipastikan mengambil untung terlebih dulu sebelum membayar ke petani. Demikian nasib guram petani yang hingga kini masih terjadi. Tak punya posisi tawar soal penentuan harga, petani yang sebetulnya menjadi rantai paling awal komoditas bergulir ke pasar malah kecipratan rezeki paling kecil. Apabila di tingkat petani harga tomat Rp5.000 umpamanya, di tengkulak harga naik menjadi Rp5.500. Semakin panjang rantai pasok, harga dipastikan terus melonjak hingga komoditas masuk pasar.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Tanggapi Pengamat yang Komentari Usulan Gaji Menteri Rp150 Juta per Bulan

"Setiap titik, orang itu mengambil untung. Di konsumen harga tertinggi, di petani harga terendah," ujarnya. Aksi ambil untung dan panjangnya distribusi hasil bumi itulah yang membuat nasib petani selalu terpuruk. Hal tersebut dilawan oleh Ulus bersama Wargi Panggupay yang berdiri pada 2010.

Ia merupakan pendiri sekaligus ketua kelompok tani tersebut. Setelah memperoleh pelatihan dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Padjadjaran (LPPM Unpad), Gapoktan tersebut mulai menerapkan sistem yang berkeadilan bagi petani.

Sistem itu memangkas rantai pasok dengan mempertemukan petani langsung dengan pasar atau pembeli. "Seperti ekspor langsung ke pelaku ekspor, kalau misalnya ke pasar, kami ini langsung ke Pasar Kramat Jati, pasar induknya, jadi tidak ada pengepul," tuturnya. Lalu, bagaimana cara agar pasar penyerap hasil bumi itu tersedia? Kuncinya adalah kontinuitas dan kualitas. Pasar, lanjut Ulus, butuh komoditas-komoditas yang kontinu atau selalu tersedia. Selain itu, hasil buminya mesti berkualitas bagus serta sehat dikonsumsi.

Dengan konsep Gapoktan yang melakukan penanaman secara bergilir dengan komoditas yang berbeda, hasil panennya dipastikan terus berkesinambungan. Pasar tak perlu khawatir, ada komoditas yang langka lantaran saban hari ada petani yang panen dan menyalurkan hasil buminya. Permasalahan yang terjadi selain rantai pasok yang panjang adalah petani kerap panen bersamaan karena tak menggilir masa tanam. Akibatnya, hasil bumi melimpah ke pasar yang berimbas harga anjlok.

Baca Juga: Pakar Kebijakan Pendidikan UPI Minta Sistem Zonasi Dievaluasi: Setiap Tahun Selalu Bermasalah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat