kievskiy.org

Kereta Cepat Jakarta-Bandung Merusak Mata Air di Cikalongwetan, Warga Terpaksa Pakai Air Kotor

Ketua RW 4 Didin Saripudin, 53 tahun melongok memandangi bak air berisi sedikit air bercampur tanah di halaman rumah warga, Kampung Sukamanah, RT 3 RW 4, Desa Puteran, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat, Senin (31/7/2023).
Ketua RW 4 Didin Saripudin, 53 tahun melongok memandangi bak air berisi sedikit air bercampur tanah di halaman rumah warga, Kampung Sukamanah, RT 3 RW 4, Desa Puteran, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat, Senin (31/7/2023). /Pikiran Rakyat/Bambang Arifianto

PIKIRAN RAKYAT - Didin Saripudin, 53 tahun, melongok dan memandangi bak berisi sedikit air bercampur tanah di halaman rumah warga di Kampung Sukamanah, RT 3, RW 4, Desa Puteran, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat, Senin, 31 Juli 2023. Bak tersebut awalnya menampung air bersih yang dialirkan menggunakan pipa paralon sepanjang 5-6 kilometer dari mata air Ciporehek di kawasan Desa Rende, Kecamatan Cikalongwetan. Namun, mata air tersebut mengering setelah pengerjaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung menerobos tanah di bawahnya untuk pembangunan terowongan.

"Sejak pembangunan (terowongan) air langsung kecil dari mata air, lama-lama kering total seiring pembangunan berjalan," kata Ketua RW 4 itu saat ditemui di kediamannya di Sukamanah.

Setidaknya, terdapat tiga RW yang terdampak mengeringnya mata air Ciporehek yakni RW 4, 5 dan 6. Di RW 4 saja, warga pengguna air mencapai hampir 90 keluarga. Sementara di RW 5 dan 6 masing-masing 75 dan 90 keluarga.

Mulanya, lahan Ciporehek dimiliki warga Rende. Warga tiga RW tersebut berembuk dan memutuskan membeli lahan seluas 400 meter persegi yang memiliki mata air tersebut dengan harga Rp50 juta sekitar tahun 2003 lalu. Uang berasal dari swadaya para warga sendiri demi memperoleh air bersih untuk minum dan kebutuhan lainnya.

Baca Juga: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Tak Seindah yang Diceritakan Para Artis, Kebun Warga Rusak Akibat Proyek Itu

Proyek sepur kilat rupanya menerobos lahan sumber air andalan warga pada sekitar 2021 hingga berbuah nestapa. Warga, seperti dituturkan Didin, akhirnya memakai air Sungai Cileuleuy setelah Ciporehek mengering.

"Di bawah mata air ada Sungai Cileuleuy. Kita (kami) ngambil dari situ, tetapi kondisi air keruh dan kotor," ucapnya.

Air sungai sampai ke rumah warga dengan menggunakan pipa dan ditampung di beberapa bak yang sebelumnya dipakai mengalirkan dan mewadahi air Ciporehek. "Minimal untuk cuci baju, cuci piring," kata Didin mengenai penggunaan air sungai itu.

Untuk keperluan minum, warga membeli air isi ulang atau meminta air bersih dari tetangganya yang memiliki sumur gali. Beberapa warga juga mencari alternatif sumber air bersih lain dengan pembiayaan sendiri.

Didin mencari mata air baru di daerah Sukamulya, Tegalamandor dan memasang pipa. Namun, debit airnya kecil dan paling banyak hanya bisa dipakai 6-10 rumah. Selain debitnya, pipa yang dipasang pun berukuran kecil. Warga bukannya tak mempertanyakan persoalan itu kepada pihak kereta cepat melalui pemerintah desa sebagai mediator.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat