kievskiy.org

Kisah Pasar Baru Bandung: Pelarian Prajurit Diponegoro, Saudagar Bandoeng, dan Kekuatan Ekonomi Pribumi

Pasar Baru di Bandung pada 1931.
Pasar Baru di Bandung pada 1931. /Tangkapan layar https://digitalcollections.universiteitleiden.nl

PIKIRAN RAKYAT - "Tina mangrupa dagang barang batikan, masih keneh dicekel ku bangsa urang lain dina leungeun bangsa dengeun. Saudagar2 batikan dina djaman harita disebutna "mandoran" Meh sakabehna bangsa Djawa. Ku taksiran ieu urang2 Djawa nu djaradi "mandoran" di Bandung teh, di antarana nja turunan Djawa nu ti dituna maringgat dina sabada timbul peperangan Diponegoro."

Perang Jawa dengan tokoh utama yang mengobarkannya, Pangeran Diponegoro ditengarai menjadi penyebab munculnya sejumlah pendatang Jawa ke Bandung di masa lalu. Hal itu dikemukakan R. Moch. A. Affandie dalam bukunya, Bandung Baheula, jilid 1

Keterangan tersebut juga dikutip dalam Lembaran Sejarah Volume 14 Number 1 April 2018 bertajuk "Saudagar Bandoeng", 1906-1930-an yang ditulis Dede Rohayati, alumnus Program Pascasarjana Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.‎ Kala tinggal di Bandung, para pendatang itu berprofesi sebagai pedagang/saudagar batik dan dikenal dengan istilah, mandoran atau Urang Pasar.

"Asal usul Saudagar Bandoeng ini ditengarai berasal dari Jawa Tengah yang datang ke Bandung pada pertengahan abad ke-19," tulis Dede. Ia juga merujuk tulisan Dadang Dachmir di Pikiran Rakyat pada 15 Juni 1984 tentang riwayat para Saudagar Bandung yang merupakan pelarian senopati pasukan Diponegoro. 

Identitas para pelarian itu, menurut Dadang, jarang diungkap dan menjadi rahasia keluarga mereka. Hal tersebut dilakukan sengaja untuk melindungi keselamatan mereka dan keluarganya dari kemungkinan dibunuh pihak-pihak yang berkepentingan.

Mereka menanggalkan gelar kesenopatian serta menyamarkan identitas dengan menjadi pedagang batik. Pasar Baru di Bandung pun menjadi tempat mereka memulai profesi baru tersebut. 

"Pada saat itu, hak perdagangan batik masih dikuasai oleh orang pribumi, sehingga relatif mudah bagi para usahawan ini untuk segera menekuni bidang usaha tersebut," tulis Dede. 

Meskipun hampir seluruh mandoran itu berasal dari Jawa, hanya sebagian yang leluhurnya merupakan pelarian senopati Diponegoro. Pemasaran produk-produk mereka juga menjangkau kawasan sekitar Bandung seperti Lembang, Padalarang, Cimahi, Soreang, Banjaran, Ciparay, Majalaya, Ujungberung, Cicalengka.

Produk-produk batik itu diperoleh dari pusat-pusat industri batik seperti Pekalongan, Yogyakarta, Solo, Lasem, Banyumas, Gresik. Pembukaan jalur kereta api yang menghubungkan Bandung dengan wilayah-wilayah luar pada 1894 makin membuat usaha batik itu semakin berkembang di Bandung.

Bandung akhirnya dikenal sebagai pusat perdagangan batik di Jawa Barat. Dede juga mengacu Haryanto Kunto dalam bukunya, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe tentang nama-nama pionir para saudagar tersebut yang hadir pada 1850-an, yakni Haji Kadar, Haji Doerasi, Haji Ende Rapi'ah, Haji Saleh Katam. Para perintis ini melahirkan generasi saudagar lain yang terbilang sukses pada 1920-an, seperti Haji Pachroeradji, M Masdoeki, Haji Syarif, Haji Idris, Haji Omar Kadar, Haji Ayoeb, Haji Pagieh, Haji Achsan, Haji M Boekri. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat