JAKARTA, (PR).- Pelaku usaha ekspor mengkritik lembaga pembiayaan ekspor Indonesia yang kurang berfungsi secara optimal. Hal itu menyebabkan tujuan pembiayaan ekspor menjadi tidak tercapai.
Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia, Benny Soetrisno mengatakan, saat ini sudah ada lembaga pembiayaan khusus ekspor. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tersebut bahkan memiliki payung hukum berupa undnag-undang.
Meskipun demikian, pergerakan lembaga pembiayaan ekspor itu masih belum optimal. Hal itu disebabkan oleh regulasi yang tidak fleksibel.
"Karena argumentasi diawasi oleh OJK, maka implementasinya diberlakukan seperti bank biasa. Ini yang menurut saya membuat tujuan pembentukan lembaga pembiayaan ekspor itu tidak tercapai," ucap Benny, pada Seminar Perdagangan Nasional dan Dialog Gerakan Ekspor di Jakarta, Kamis, 28 Februari 2019.
Salah satu contoh regulasi tersebut adalah ketentuan dimana eksportir harus memiliki keuntungan minimum dua tahun. Selain itu, eksportir juga diwajibkan memiliki agunan berupa barang tidak bergerak.
"Begitu masuk ke dalam sistem bank, dia tidak ubahnya seperti bank biasa. Saya sudah bertemu dengan dirut dan direksi LPEI untuk memberikan penjelasan, namun pandangan mereka tetap normatif," kata dia.
Menurut Benny, pemerintah seharusnya melakukan inovasi untuk mendorong ekspor. Apalagi saat ini, neraca perdagangan Indonesia masih mengalami defisit.
Benny mengatakan, defisit neraca perdagangan tersebut bisa diturunkan jika meningkatkan ekspor, terutama industri manufaktur. Sebab, penurunan impor sulit dilakukan seiring dengan bertambahnya kebutuhan migas yang diimpor.
Selain itu, Benny mengatakan, daya saing ekspor juga kurang optimal akibat biaya logistik yang tinggi. Menurut dia, sudah saatnya Indonesia menggunakan digitalisasi dalam bidang logistik untuk mengefisienkan biaya.