kievskiy.org

Belajar dari Baduy Jero Banten, Hidup Harmonis dengan Alam yang Masih Sangat Terjaga

Sejumlah masyarakat Baduy Jero Banten.
Sejumlah masyarakat Baduy Jero Banten. /Pikiran Rakyat/Herland Heryadie Pikiran Rakyat/Herland Heryadie

PIKIRAN RAKYAT - Salah satu hal yang bisa dipelajari dari kearifan tradisi masyarakat Baduy baik Baduy Luar maupun Baduy Jero (Baduy Dalam) adalah bagaimana mereka bisa hidup harmonis berdampingan dengan alam sekitarnya. Suku Sunda yang masih berpegang teguh pada ajaran dan amanat leluhur ini pun tinggal di tengah-tengah hutan dan rimba, jauh dari ingar-bingar kota dengan segala macam aktivitasnya. Untuk mengakses perkampungan Baduy Luar saja, kita harus mau berjalan kaki beberapa kilometer dari akses jalan utama. Apalagi Baduy Jero, aksesnya lebih jauh dan lebih terjal.

Baduy Jero memiliki tiga kampung, antara lain Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana. Masing-masing memiliki sesepuh kampung yang disebut Puun. Cibeo dipimpin Puun Jahadi, Cikertawana dipimpin Puun Dalkin, dan Cikeusik dipimpin Puun Eman. Perkampungan Baduy Jero dikelilingi 60 kampung Baduy Luar yang dipimpin 7 Jaro alias Kepala Desa. Ciri khas perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Jero adalah jembatan rawayan yang membelah Sungai Ciujung. Jika sudah melintas jembatan rawayan atau jembatan bambu, maka segala aturan adat istiadat mutlak harus dipatuhi, tidak boleh ada lagi alat-alat atau barang-barang elektronik.

Kampung Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana adalah perkampungan di area Pegunungan Kendeng. Secara administratif, kawasan Baduy Jero berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Sabtu-Minggu 28-29 Januari 2023 kemarin, kru Journalist Journey Solidarity (JJS) berkesempatan melakukan Saba Budaya Baduy. Kami menempuh perjalanan via Bogor-Leuwiliang-Rangkasbitung-Lebak selama sekira enam jam menggunakan empat kendaraan roda empat. Sabtu pagi, kru sudah tiba di tempat bernama Terminal Cijahe, salah satu titik menuju Baduy Luar dan Baduy Jero. Sebetulnya ada akses lain menuju kawasan ini yaitu via Palabuhanratu-Bayah-Malingping-Lebak.

Baca Juga: Saba Budaya Baduy Jero Banten, Melihat Masyarakat Sunda yang Tetap Setia Ajaran Leluhur

Di Terminal Cijahe, kru sudah disambut oleh enam orang warga asli Baduy Jero yang siap menjadi pemandu. Mereka adalah Sanip (40), Sarip (47), Sarmin (24), Aja (40), Asma (12), dan Arda (10). Mereka semuanya masih satu saudara. Usai sarapan, kru berbincang bersama keenam ‘guide’ tersebut mengenai rute perjalanan. Setelah melengkapi persiapan dan perbekalan, akhirnya pukul 08.00 WIB kru memulai perjalanan berjalan kaki. Seira dua jam naik turun bukit sembari membelah hutan dan rimba, akhirnya kru tiba di Kampung Cibeo Baduy Jero.

Di tengah perjalanan itu pula, nampak terlihat jelas bagaimana masyarakat Baduy Jero begitu menjaga alamnya. Vegetasi khas hutan hujan tropis membuat hidung nyaman menghirup oksigen yang masih segar. Yang paling jelas terlihat adalah tidak adanya sampah terutama sampah plastik. Bahkan bekas puntung rokok pun tidak ada. Jika ada pengunjung yang melakukan kunjungan ke Baduy Jero, maka akan diingatkan terlebih dahulu untuk mematuhi aturan tidak boleh nyampah. Kalau pun ada yang secara tidak sengaja membuang sampah setelah diingatkan, maka warga Baduy Jero tanpa banyak bicara akan memungut sampah sekecil apapun lalu membuang ke tempat khusus.

"Salah satu ajaran yang dipegang adalah Wangsit Baduy yang berbunyi, gunung teu menang dilebur, lebak teu menang dirusak, larangan teu menang direumpak, buyut teu menang dirubah, pondok teu menang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun, kudu ngadek sacekna, nilas saplasna. Kalau mau diartikan ke bahasa Indonesia, cari saja di Google," kata Rizky Gustana, road captain JJS di tengah perjalanan menuju Kampung Cibeo.

Soal bagaimana trek yang ditempuh, jangan ditanya. Trek menanjak dan menurun, berkelok, berlumpur, dan berbatu sudah pasti ditemui. Apalagi selama perjalanan menuju Kampung Cibeo, sesekali turun gerimis yang membuat jalanan semakin licin. Namun rasa lelah terbayar lunas ketika setelah trek menanjak, kami disuguhkan pemandangan area pegunungan yang masih sangat bersih dan memanjakan mata. Sesekali kru menemui bangunan rumah panggung terbuat dari bilik bambu yang atapnya terbuat dari hateup, disebut saung. Ada saung yang dihuni, ada pula yang kosong.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat