kievskiy.org

Kampung Adat Cirendeu di Cimahi Lebih Pilih Rasi Dibanding Nasi, Jadi Bahan Pokok selama 84 Tahun

Masyarakat Kampung Cirendeu, Cimahi.
Masyarakat Kampung Cirendeu, Cimahi. /Pikiran Rakyat Pikiran Rakyat

PIKIRAN RAKYAT - Era modernisasi merupakan proses perubahan masyarakat dari keadaan tradisional menjadi lebih maju. Namun siapa sangka di era modern saat ini, ada kampung berjarak 30 menit dari pusat Kota Bandung yang tetap menjaga dan melestarikan adat dan kebudayaan tradisional yang dimiliki. Pasalnya sudah 84 tahun masyarakat di sana konsisten untuk tidak memakan nasi.

Kampung Cirendeu yang terletak di Kelurahan Leuwi Gajah, Kecamatan Cimahi Selatan ini mempunyai prinsip teguh “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman”. Arti “Ngindung Ka Waktu” masyarakat kampung adat harus memiliki cara, ciri dan keyakinan. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” ialah masyarakat kampung adat Cirendeu tetap mengikuti perubahan zaman. Mereka tetap menggunakan teknologi seperti televisi, alat komunikasi, dan sistem penerangan terkini.

Konon asal muasal kampung adat Cirendeu memilih rasi (beras singkong) sebagai bahan pokok karena saat itu Belanda berhasil menguasai pangan yang dimiliki mereka hingga mengakibatkan masyarakat kelaparan dan terjadi krisis pangan. Tahun 1918, Mama Haji Ali selaku sesepuh Cirendeu mengajak untuk berhenti makan beras. Pada tahun ini, jika ada jagung, mereka makan jagung, jika ada talas, mereka memakan talas untuk bertahan hidup.  

Pada tahun 1923, muncul sosok perempuan yang bernama Omah Asnanah atau lebih akrab di Cirendeu sebagai Ibu Sepuh. Ia muncul menggantikan posisi Mama Ali dan menyosialisasikan kepada masyarakat agar tidak lagi memakan beras sebagai bahan pokok. Dalam sosialisasi itu, ia sering mengatakan kemerdekaan. Katanya, jika sudah bisa menahan lapar, itu tandanya mereka akan merdeka.

Baca Juga: Belajar dari Baduy Jero Banten, Hidup Harmonis dengan Alam yang Masih Sangat Terjaga

Hal itu sangat tidak disukai oleh Belanda sehingga pergerakannya yang baru setahun harus terhenti karena ditangkap dan ditahan Belanda di Sukamiskin selama tiga bulan. Namun setelah keluar dari penjara, Ibu Sepuh menemukan teknologi cara mengolah singkong supaya menjadi beras singkong atau rasi. Pengolahannya yakni dengan cara digiling, diendapkan, dan disaring menjadi aci atau sagu. Rasi yang dikonsumsi masyarakat berasal dari ampas olahan sagu yang kemudian dikeringkan.

Meskipun sekilas sederhana, namun bagi masyarakat Kampung Adat Cirendeu, memakan nasi dari singkong adalah sebuah hal luar biasa karena ada nilai perjuangannya. Selain itu, ada amanat dari sesepuh bahwa budaya tersebut harus dilanjutkan sebab nanti akan mengalami situasi yang lebih parah lagi dari waktu itu.

“Jaga mah alam tempat cicing urang teh bakal herin ku tangtung. Merenah pisan jang urang lamun bisa mindah-mindah rasa. Bae teu boga sawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal nyangu, teu nyangu asal bisa dahar”.

Dari sejarah panjang inilah masyarakat Kampung Adat Cirende sampai sekarang tetap memilih singkong sebagai bahan pokok. Dengan memakan rasi atau beras dari singkong, mereka merasa bahwa hal ini merupakan bentuk menghargai perjuangan leluhur zaman dahalu. (Opah)***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat