SEMOGA tidak terlalu berlebihan menyebut bahwa ”Dunkirk” adalah mahakarya sinema. Di dalamnya termuat segala jenis keindahan yang membuat kita meragukan kenyataan bahwa di dunia ini ada film seperti ”Dunkirk”.
Tak dapat dimungkiri, "Dunkirk" sarat akan muatan sikap Inggris dalam melihat posisi dirinya pasca-Brexit. Pandangan itu terus menghantui pikiran sepanjang duduk di depan layar. Namun, ingin rasayanya merayakan film ini tanpa harus memikirkan unsur politik yang membuntutinya. Tak ada salahnya kan?
Dari sekian banyak elaborasi karya agung seni dalam ”Dunkirk”, satu yang harus digarisbawahi adalah narasi jenius Christopher Nolan selaku sutradara sekaligus penulisnya.
Visinya mengisahkan serangkaian kejadian dalam 3 sudut pandang yaitu darat, laut, dan udara terasa unik walaupun memang bukan hal baru.
Di udara, kita diajak masuk ke sempitnya ruang kokpit pesawat Spitfire yang legendaris milik angkatan udara Kerajaan Inggris. Farrier (Tom Hardy) yang duduk di ruang kemudi memandu kita dalam perjalanan super singkat mendengarkan nyanyian sunyi pahlawan tak dikenal.
Di darat, sejumlah prajurit dan para perwira seperti Tommy (Fionn Whitehead), Alex (Harry Styles), Gibson (Aneurin Barnard), Komandan Bolton (Kenneth Branagh) meneguhkan hati dan pikiran bahwa harapan selalu ada. Jikapun tidak ada, harapan akan datang dalam bentuk yang bahkan sukar dimengerti.
Di laut, patriotisme datang menerjang penuh semangat bersama gelombang. Warga sipil, Dawson yang diperankan aktor pemenang Oscar, Mark Rylance bersama anaknya, Peter (Tom Glynn-Carney), dan teman Peter, George (Barry Keoghan) mendapati diri mereka berada di tengah situasi bahwa perang tak terhindarakan. Pilihannya, jika mereka tak pergi menuju perang, peranglah yang akan datang mengetuk pintu rumah mereka di kemudian hari.
Lewat ketiga sudut pandang itu, Christopher Nolan meramu semuanya menjadi jalinan cerita utuh yang menyiratkan bahwa pertempuran tak bisa dimenangi hanya dengan taktik dan strategi. Tindakan-tindakan irasional dan inisiatif lebih banyak turun tangan. Walaupun toh, tak ada kubu yang menang pula dalam perang.