SATAY western. Begitulah banyak orang mengategorikan Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak. Sebutan satay (sate) hanyalah lokalisasi untuk istilah serupa seperti spaghetti western untuk merujuk pada genre western movie atau film koboy ala Hollywood yang dibuat oleh orang beradarah Italia.
Memang ada banyak unsur sinematik yang membuat film ini bisa disebut westeren-nya Indonesia. Tengok saja bagaimana kondisi alam Sumba, latarnya yang boleh dibilang berupa area nirhukum, dan musik. Meski memang, film bergaya western tidak punya akar yang kuat dalam sejarah perfilman kita.
Akan tetapi, kalau mencermati struktur naratifnya yang berupa pembagian babak ditambah tokoh utamanya yang perempuan, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak lebih tepat digolongkan sebagai subgenre rape-revenge film.
Penekanan pada struktur naratif ini selaras dengan pernyataan Jacinda Read dalam bukunya, ”The New Avengers: Feminism, Femininity and the Rape-Revenge Cycle”. Menurutnya, rape-revenge film bukanlah genre atau subgenre melainkan sturktur naratif yang bisa diaplikasikan di banyak genre film.
Secara umum, rape-revenge film patuh pada struktur tiga babak. Bagian pertama menceritakan karakter perempuan yang disiksa, diperkosa, dan dibiarkan sekarat. Bagian kedua berkisah tentang bagaimana karakter perempuan itu selamat dan memulihkan diri. Bagian ketiga berfokus pada sang karakter yang menuntut balas, biasanya dengan membunuh para pemerkosa.
Tema film rape-revenge diekspoitasi secara masif pada era 1970-an. Salah satu judul film yang wajib disingung saat berbicara soal rape-revenge film adalah I spit on Your Grave (1978).
I spit on Your Grave bercerita tentang Jennifer Hills (Camille Keaton), penulis yang sedang berlibur di pedesaan. Dia disatroni empat pemerkosa dan ditinggalkan dalam keadaan sekarat. Namun, dia selamat dan membunuh para pemerkosanya dengan cara paling sadis yang bisa dia lakukan.
Judul aslinya adalah Day of the Woman sebelum dirilis ulang dengan judul I spit on Your Grave. Film ini menjadi klasik dan banyak dibicarakan karena diwarnai kontrovesi.
Seperti juga kisah nyatanya yang jadi kontroversi hukum di era Orde Baru, Perawan Desa adalah film fenomenal di tanah air. Pada Festival Film Indonesia 1980, Perawan Desa memenangi penghargaan berngengsi sebagai film terbaik.