NASKAH Bumi Manusia, bersama karya-karya lain Pramoedya Ananta Toer salama di Pulau Buru, Maluku, melewati jalan terjal sebelum sampai ke tangan pembaca dan terus diperbincangkan hingga hari ini.
Kisah berlatar Hindia Belanda pada awal abad ke-20 tersebut ditik cepat dalam keterbatasan literatur, didiskusikan secara sembunyi-sembunyi di antara tahanan politik, diselundupkan ke luar pulau, diterbitkan di Jakarta, sebelum dilarang beredar oleh rezim Orde Baru. Banyak orang bernyali terlibat dalam proses panjang tersebut.
Pramoedya Ananta Toer sampai di Pulau Buru bersama 500-an orang tahanan politik lain dalam pengapalan gelombang pertama pada Agustus 1969, atau hampir empat tahun setelah ia diseret ke penjara karena didakwa menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI), si tertuduh dalam Prahara 1965. Meringkuk di dalam sel, ia kehilangan kemewahan untuk menulis selain dokumen yang disodorkan petugas.
Kertas dan pena pertama Pramoedya Ananta Toer diperoleh dari Bur Rasuanto, seorang wartawan yang ikut dalam rombongan Jaksa Agung Jenderal Sugiharto berkunjung ke Pulau Buru pada November 1969.
Pada tahun-tahun itu, desakan agar para tahanan politik dibolehkan berkarya, termasuk menulis, terus menguat di Jakarta. Belakangan, makin keras pula tekanan dari dunia internasional yang mengecam tindakan pemerintah Indonesia menahan dan membuang warganya tanpa proses pengadilan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
Pandangan Goenawan Mohamad
Salah satu reportase tentang kunjungan Jaksa Agung ke Pulau Buru itu ditulis Goenawan Mohamad, seorang wartawan Harian Kami. Dijuduli “Suatu Hari dalam Kehidupan Pramudya Ananta Toer”, artikel tersebut termuat dalam buku bertajuk Potret Seorang Penjair Muda sebagai Malin Kundang (1972).
Goenawan Mohamad, yang belakangan lebih sohor sebagai esais dan penyair yang mendirikan Majalah Tempo, adalah salah satu penanda tangan Manifes Kebudayaan yang lama berseteru dengan Lekra. Tak hanya ke Pulau Buru, ia juga nantinya menunjukkan simpati dengan datang ke peluncuran buku di rumah Pramoedya Ananta Toer, tak lama sesudah sang penulis dibebaskan.
Goenawan Mohamad melukiskan sosok Pramoedya Ananta Toer dengan “tubuhnya nampak liat, kulit wajahnya lebih terbakar matahari” akibat banyak waktunya habis dengan pekerjaan fisik, mulai dari membangun blok tempat mereka tinggal hingga mengolah ladang untuk bisa bertahan hidup. Namun sang wartawan juga mencatat, Pramoedya Ananta Toer masih memelihara keinginan untuk terus menulis. Kali ini tentang sejarah.