“TIDAK ada satu pun calon presiden yang punya wawasan ke-Indonesia-an. Apa yang bisa kita harapkan dari mereka?”
Begitu jawaban Pramoedya Ananta Toer kepada Andre Vltchek dan Rossie Indira dalam rangakaian wawancara yang berlangsung di rumah Pramoedya Ananta Toer di Jakarta Timur dalam kurun waktu empat bulan, dari Desember 2003 hingga Apri 2004.
Pramoedya Ananta Toer genap berusia 79 tahun ketika itu. Berulang kali ia mengatakan “tidak bisa menulis lagi”.
Rangkaian wawancara kedua jurnalis cum aktivis itu diterbitkan dalam buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia berjudul Saya Terbakar Amarah Sendirian (2006). Versi inggrisnya yang berjudul Exile, terbit pada tahun yang sama.
Dalam Pilpres 2004, Susilo Bambang Yudhoyono, seorang jenderal TNI Angkatan Darat, menang. Sebuah kenyataan yang sebelumnya dikhawatirkan Pramoedya Ananta Toer. Presiden dari militer, ia yakini, bakal membuat Indonesia “makin tidak karuan”.
Pramoedya Ananta Toer tidak akan pernah lupa atas apa yang yang dilakukan sepeleton tentara terhadap dia pada 13 Oktober 1965 petang.
Semua buku, naskah, dan dokumen yang ada di rumahnya di Rawamangun dibakar. Sebuah tindakan yang ia samakan dengan “perbuatan setan”.
“Pembakaran naskah tesebut adalah hal yang tidak akan pernah bisa saya maafkan,” kata Pramoedya Ananta Toer.
![](https://static.pikiran-rakyat.com/public/medium/public/2019/08/zUQg2leqU9OqnPHeRZlLOtNyLjKkIYxnhhZFOdXn.jpeg)