kievskiy.org

Temuan Mengejutkan: Obat Anti-Malaria Bisa Bantu Sindrom Ovarium Polikistik

Ilustrasi malaria
Ilustrasi malaria /freepik freepik

PIKIRAN RAKYAT - Ekstrak herbal artemisinin salah satu jenis obat antimalaria memiliki kandungan yang dapat menyembuhkan malaria, yang digunakan dalam pengobatan Tiongkok dan dapat menghentikan produksi testosteron yang berlebihan.

Dikutip The Guardian, penelitian yang berkelanjutan telah menemukan bahwa obat anti-malaria, artemisinin, yang memiliki manfaat dalam obat tradisional Tionghoa, dapat menjadi terapi efektif untuk sindrom ovarium polikistik (SOPK). Temuan dari penelitian ini diterima baik, karena bisa membantu menciptakan cara baru untuk menangani kondisi yang mempengaruhi sekitar 1 dari 10 wanita.

Ekstrak herbal, artemisinin, dapat menghambat ovarium dan menghasilkan testosterone yang berlebihan. Dalam penelitian ini, wanita yang mengonsumsi obat selama 12 minggu mengalami menstruasi yang lebih teratur. Dr. Channa Jayasena, seorang dosen senior klinis di Imperial College London, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengungkapkan kesenangannya terhadap potensi terobosan ini. "Ini adalah pengembangan potensial yang luar biasa dalam kondisi yang sangat penting," katanya. "Itu adalah pengembangan yang disambut baik, karena masalah kesehatan wanita belum secara tradisional menerima perhatian yang sama dengan penyakit jantung dan kanker."

PCOS (Sindrom Polikistik Ovarium) adalah penyakit ketika ovum atau sel telur pada perempuan tidak berkembang secara normal karena ketidakseimbangan hormon, yang terjadi ketika ovarium memproduksi terlalu banyak testosteron. Ketidakseimbangan hormon ini mengganggu ovulasi, yang dapat menyebabkan menstruasi yang tidak teratur dan mempengaruhi kesuburan. Dengan banyak pasien yang mengalami resistensi insulin atau kondisi di mana sel-sel tubuh menjadi kurang responsif terhadap hormon insulin, yang meningkatkan risiko obesitas, penyakit jantung, dan diabetes. Kadar testosteron yang tinggi bisa menyebabkan tumbuhnya banyak rambut di wajah dan munculnya jerawat.

Perawatan saat ini mencakup pil kontrasepsi yang mengurangi produksi testosteron untuk membantu mengatur siklus menstruasi yang tidak teratur. Selain itu, terdapat obat operasi untuk mereka yang menghadapi kesulitan hamil. Tetapi, perawatan ini tidak selalu efektif dan tidak cocok untuk semua orang.

Penelitian terbaru dalam jurnal Science menunjukkan bahwa artemisinin salah satu jenis obat antimalaria yang dapat menghambat aktivitas enzim CYP11A1 (Enzim pemutus rantai cabang kolesterol), yang penting untuk produksi testosterone di ovarium. Dalam percobaan dengan tikus yang memiliki kondisi mirip PCOS, ilmuwan melihat bahwa obat ini menurunkan tingkat testosterone dan mengembalikan kesuburan. Dr. Jayasena mengomentari, "Hasilnya sangat dramatis dan menunjukkan kemajuan signifikan."

PCOS menyebabkan gangguan pada siklus ovulasi, di mana biasanya ovarium menghasilkan folikel atau  kantong-kantong kecil berisi cairan yang ditemukan di dalam ovarium wanita yang matang secara berurutan. Tetapi, pada PCOS ovarium menghasilkan folikel secara berlebihan sehingga beberapa folikel dapat matang secara bersamaan.

ilustrasi penelitian
ilustrasi penelitian freepik
Dilansir The Guardian, Profesor Richard Anderson, kepala obstetri dan ginekologi di Universitas Edinburgh, mengatakan bahwa hasil penelitian ini sangat menjanjikan. Dalam penelitian tersebut, 19 wanita dengan PCOS (Sindrom Ovarium Polikistik) diberi artemisinin selama 12 minggu. Hasilnya, kadar hormon mereka menurun secara signifikan, yang terlihat dari pemeriksaan ultrasound yang menunjukkan penurunan aktivitas folikel. Sebanyak 12 dari 19 partisipan (63%) kembali mengalami menstruasi yang teratur, tanpa ada efek samping yang dilaporkan.

Profesor Qi-qun Tang dari Universitas Fudan di Shanghai mengatakan, "Penelitian kami menunjukkan bahwa artemisinins adalah obat yang menjanjikan untuk mengobati PCOS. Mereka efektif menghambat produksi hormon androgen (hormon pada laki-laki) di ovarium, yang dapat mengurangi jumlah folikel yang belum matang dan memperbaiki siklus menstruasi."

Selama 12 minggu setelah berhenti mengonsumsi obat, menstruasi partisipan tetap teratur. Sekarang, tim sedang bekerja untuk menyempurnakan dosis dan jadwal penggunaan obat dengan tujuan melakukan penelitian klinis yang lebih besar.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat