kievskiy.org

Erdogan Meradang, Hubungan Turki-Jerman Menegang

ANKARA, (PR).- Ketegangan antara Turki dan Jerman meningkat pada Jumat. 3 Maret 2017, setelah pemerintah Ankara menuding Berlin berupaya untuk memengaruhi suara warga Turki di Jerman untuk tak memilih Recep Tayyip Erdogan pada refernedum 16 April mendatang. Seperti dilaporkan Reuters, Erdogan menuding Jerman berusaha menghalangi warganya di Jerman untuk menggelar pawai dukungan terhadap dirinya. Erdogan sangat berkepentingan dengan situasi warganya di Jerman karena negara Bavaria tersebut merupakan penampung migran Turki terbesar di Eropa. Warga Turki membanjiri Jermann sejak 1960-an saat pemerintah Jerman membutuhkan banyak tenaga kerja aing untuk membangun kembali perekonomian Jerman yang saat itu baru pulih dari kehancuran akibat Perang Dunia II. Sejak tahun 1960-an, warga Turki pun berbondong-bondong datang ke Jerman dan menetap di sana. Karena menganut sistem dwikenegaraan, banyak warga Turki masih mempertahankan kewarganegaraan asalnya. Oleh karena itu, suara warga Turki bagi Erdogan sangat penting karena jumlah mereka di Jerman cukup signifikan. Data Reuters menyebutkan, populasi Turki di Jerman sekira tiga juta orang. Seperti diketahui, pada awal Februari 2017 lalu, Erdogan telah menyetujui RUU reformasi konstitusi yang membuat kekuasan presiden semakin besar. Dalam hal ini, sistem parlementer yang selama ini dijalankan akan diganti mejadi sistem presidensial. Dengan demikian, jabatan presiden menjadi sangat penting karena menentukan banyak keputusan vital negara. Terkait upaya Erdogan untuk memperkuat kekuasaannya itu, referendum akan segera digelar. Wakil Perdana Menteri Turki mengatakan referendum akan dilakukan pada tanggal 16 April 2017. Jika UU tersebut disetujui dalam referendum mendatang, maka Erdogan akan berkuasa sampai 2029. Bukan hanya kekuasaanya bertambah lama, cakupan kekuasaanya pun makin luas. Pasalnya, dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi kuat dan tidak dapat dijatuhkan hanya karena rendahnya dukungan politik. Dalam sistem parlementer yang dianut Turki saat ini, posisi presiden bisa dengan mudah digoyang, jika parlemen mengajukan mosi tak percaya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat