kievskiy.org

Gunung Guntur Kecil-kecil Cabe Rawit, Bedah Kisah Pendakian Gunung di Garut yang Terlihat Gundul

Gunung Guntur di Garut dilihat dari wilayah Ngampang.
Gunung Guntur di Garut dilihat dari wilayah Ngampang. /Pikiran Rakyat/Usep Romli

PIKIRAN RAKYAT - Gunung Guntur, memang menjadi landmark Garut. Gunung yang dalam bahasa Belanda disebut donderberg itu unik karena berbeda dengan gunung-gunung di sekitarnya. Dari kejauhan tampak gundul, gersang, dan berwarna merah bata tanpa ada pepohonan.
 
Gunung Guntur merupakan salah satu dari 17 gunung yang masih aktif di Jawa Barat dan salah satu dari 35 gunung api aktif di Jawa.
 
Gunung Guntur secara astronomis terletak pada 0700912011 Lintang Selatan dan 10705110511 Bujur Timur. Secara administratif masuk pada wilayah Garut.
 
Gunung Guntur di Garut.
Gunung Guntur di Garut.
 
Secara geologis, Gunung Guntur merupakan kompleks pegunungan yang terdiri atas beberapa puncak.
 
Puncak tertingginya adalah Gunung Masigit (2.249 mdpl). Puncak yang lainnya yaitu Gunung Parupuyan (2.135 m dpl), Gunung Kabuyutan (2.048 mdpl), dan Gunung Guntur (1.807 mdpl).
 
 
Kompleks pegunungan ini ke sebelah barat bergabung dengan pegunungan Kunci, kawah Kamojang, gunung Gandapura, gunung Sangar, dan gunung Rakutak.
 
Sampai saat ini, gunung Guntur masih dikategorikan aktif. Sejak tahun 1690-1847 telah terjadi 22 kali letusan.
 
Setelah 1847, gunung ini mengalami fase istirahat yang cukup lama, yaitu 155 tahun. Pada tahun 2002 menunjukkan aktivitasnya sehingga statusnya dinaikkan dari aktif normal menjadi waspada.
 
Suatu ketika, Lili Somantri dari program studi Geografi UPI Bandung melakukan perjalanan ke Gunung Guntur dan menuturkan perjalanannya dalam pendekatan gerografi yang menarik. Berikut ini kisahnya. kepada pembaca yang bijak lagi bestari, selamat membaca.
 
***

Bersama rekan-rekan anggota Jantera, pendakian ke Gunung Guntur kami awali dari Citiis, suatu daerah di Kecamatan Tarogong yang terletak di pinggir jalan raya Bandung-Garut. Sesuai namanya, udara malam di Citiis memang dingin seakan memperkenalkan pada kami bagaimana dinginnya udara kawasan Gunung Guntur.

Kami sengaja melakukan pendakian pada malam hari karena pendakian siang hari khawatir kepanasan, Jalan menuju Gunung Guntur lumayan lebar. Hanya saja kondisinya agak rusak.
Sehabis perkampungan, ada dua persimpangan yang satu ke arah kiri dan yang satu ke arah kanan.
 
 
Di peta topografi persimpangan ini tidak terpetakan. Melalui kesepakatan, akhirnya memilih jalan yang ke kanan. Dari sinilah kami berjuang untuk memperoleh pengalaman pendakian ke Gunung Guntur karena ternyata jalan yang kami lalui salah.
 
Kami menyusuri jalan ini, jalan berbatu yang di kanan kirinya perkebunan lahan kering. Semakin lama semakin jalannya menyempit yang berujung pada lokasi penggalian pasir. Setelah ini mulai jalan setapak yang sempit, dengan menyusuri kebun tembakau.
 
Sehabis kebun tembakau, kami masuk hutan sekunder yang medannya langsung menanjak curam. Pasir setinggi tumit membuat perjalanan terhambat karena licin. Untuk melancarkan perjalanan, kami mulai menyiapkan senter. Hutan ini didominasi oleh pohon bambu.
 
Merangnya lumayan membuat kulit gatal-gatal sehingga harus menghindari dahan atau rantingnya. Duri, semak belukar kami singkirkan. Lerengnya sungguh curam. Semakin ke atas jalannya semakin tertutup, terpaksa kami memilih bagian-bagian yang bisa dilewati.
 
 
Topografi curam, tak ada jalan, menjadikan tantangan tersendiri untuk melewatinya.
Hampir dua jam kami mendaki lereng bukit yang terjal ini, sampai akhirnya di atas menemukan pipa air.
 
Perjalanan kami mengikuti jalan setapak yang ada pipanya. Kami berharap pipa ini bersumber dari Curug Citiis yang memang suatu petunjuk untuk naik ke Gunung Guntur.
 
Beberapa jam kami mengikuti pipa ini,sungguh tidak ada ujungnya. Pipa ini hanya lurus mengikuti kontur lereng. Tanaman pinus dan kaliandra setia menemani perjalanan kami. Badan mulai terasa lelah.
 
Satu-satunya yang bisa melupakan rasa lelah, adalah menengok ke arah dataran tinggi Garut, suasana Garut malam hari lumayan hidup.
 
 
Lampu-lampu berkelap-kelip di antara bagian-bagian yang gelap. Ada kerlipan yang lebih banyak, itu pasti Kota Garut, ada yang sedikit, dan itu pasti kota kecamatan di sekitarnya.
 
Kami berinisiatif naik ke lereng yang lebih atas karena ada jalan setapak. Medannya sangat terjal.
 
Perjalanan kami juga mengandalkan batang pohon dan akar-akar pohon. Duri sejenis rotan banyak terdapat di hutan ini, yang tanpa segan-segan membuat kulit kesakitan.
 
Jalannya buntu juga. Kami terpaksa menerobos bagian-bagian yang masih bisa dilewati. Tetapi semakin ke atas semakin tertutup oleh vegetasi. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke pipa di bawah tadi.
 
Kami kembali mengikuti pipa ini, dan tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dinihari. Jalan ke Guntur tidak ketemu juga. Pipa ini hanya sampai pada suatu lembah sungai.
 
 
Karena kelelahan kami beristirahat disini. Lelah, lapar bercampur. Meskipun sudah dingin, bekal makanan yang kami bawa nikmat juga. Kami menikmatinya sama-sama, di tengah heningnya suasana malam di hutan.
 
Besoknya kami buka peta topografi, ternyata kami diperkirakan berada di lembah hulu sungai Cibeureum dan posisi kami ke Gunung Guntur terhalang oleh satu gunung yaitu gunung Picung (1998 m dpl). Bukit yang kami lewati semalam adalah Pasir Cileungsing (1.296 m dpl).

Kami meneruskan perjalanan dengan mengikuti jalan setapak, perjalanan pagi hari sungguh menyenangkan.
 
Kicauan burung pagi membawa kedamaian, lebatnya hutan di daerah ini membuat mataku segar, mungkin karena mataku selalu disibukan oleh buku dan radiasi komputer. Ingin aku memandang terus hijaunya hutan ini dan menghirup segar udaranya.

Jalan yang kami lalui mengikuti kontur lereng. Vegetasi kaliandra (caliandra calothyrsus) mendominasi di daerah ini. Dalam kaitannya dengan konservasi hutan, kaliandra ini berfungsi untuk menahan air hujan pada waktu hujan turun, karena tajuk daunnya yang lebat sehingga mudah meloloskan air hujan.
 
Selain itu, kaliandra dapat mencegah erosi karena akarnya yang panjang dapat mengikat tanah. Di tengah perjalanan, ada sungai kecil yang dipenuhi batuan beku sehingga membentuk beberapa air terjun.
 
Mungkin daerah ini merupakan tempat melelehnya lava pada waktu Gunung Guntur meletus. Damai rasanya di hutan ini. Kemudian kami naik Gunung Picung. Dengan harapan dapat mencapai Gunung Guntur dengan cepat.
 
Medannya sangat terjal, dengan kondisi tanah vulkanik yang gembur bercampur pasir. Tanah vulkanik kalau diolah sangat subur, tapi sepertinya belum terpikirkan oleh penduduk untuk menggarapnya.
 
Atau, mungkin mengerti kalau tanah ini tidak boleh digarap dan harus dibiarkan tertutup oleh hutan. Karena tanah ini juga mudah tererosi. Jadi lebih baik dihutankan saja.
 
Hampir tiga jam kami naik, tetapi setelah di puncak ternyata Gunung Guntur malah beseberangan dengan gunung ini yang dipisahkan oleh jurang-jurang. Apa boleh buat perjalanan yang begitu melelahkan harus kembali karena tanpa tujuan.
 
Kami kembali lagi ke bawah. Perjalanan turun pada lereng curam membuat kaki terasa pegal. Di bawah lahannya sudah dibuka. memang benar lahannya subur tapi awas musim hujan erosinya sangat tinggi.
 
Kami tanya ke petani kalau mau naik Gunung Guntur dari arah mana, dia menunjukkan harus melewati dari Curug Citiis. Dia menunjukkan curug itu yang tampak jauh.
 
Akhirnya kami dengan sisa tenaga memutuskan untuk mendaki Gunung Guntur, gunung tujuan semula.
 
Sekira 15 menit kami sampai di Curug Citiis, memang benar banyak orang yang berkemah di daerah ini. Curugnya tinggi sekira 30 meter, dan di bawahnya ada curug lagi setinggi 5 meter, sebagai tempat peristirahatan. Air di curug ini masih jernih karena baru turun dari gunung.
 
Setelah mempersiapkan semuanya, kami naik Gunung Guntur. Vegetasi semak atau padang ilalang setinggi 1 meter atau lebih seakan mempersilahkan pada kami untuk mendaki Gunung Guntur.
 
Dari bawah, puncak Guntur tampak gagah menjulang. Kuningnya hamparan padang ilalang ini menutupi sampai ke puncak Guntur, hanya diselingi satu atau dua pohon yang tidak terlalu tinggi.
 
Sekira pukul 12 siang, kami mendaki lagi. Hujan kecil tidak menjadi penghalang, kami naik dan terus naik.
 
Jalurnya langsung nanjak dan berbatu. Puncaknya kelihatan dari bawah seolah menantang untuk menginjakkan kaki di atasnya. Semakin kami naik semakin jauh puncak tersebut. Seolah fatamorgana.
 
Di pinggir jalan setapak yang kami lewati terdapat bekas aliran lava. Pinggirannya dipenuhi hasil pembekuan lava. Bahkan batuan beku banyak terdapat di kanan kiri jalan.
 
Kami sering memanfaatkannya untuk istirahat, sambil menikmati hamparan Kabupaten Garut.
 
Petak-petak sawah, kebun, yang diselingi permukiman menutupi topografi yang tidak rata. Saya membayangkan bagaimana jika letusan gunung Guntur yang pernah terjadi tahun 1690 atau 1829, terjadi saat ini. Pasti hamparan sawah, kebun, permukiman, dan fasilitas lainnya akan terkena letusan.
 
Bahkan berdasarkan peta kawasan rawan bencana Gunung api Guntur, banyak daerah yang terkena letusan, baik kawasan rawan bencana I atau kawasan rawan bencana II.
 
Kawasan rawan bencana I adalah daerah yang terkena banjir lahar, awan panas, atau lava.
Kawasan ini berada di sepanjang atau di dekat sungai yang berhulu di daerah puncak gunung.
 
Kawasan ini juga berpotensi terkena hujan abu lebat dan lontaran batuan (pijar) dan bila letusan terjadi kemungkinan dapat terlanda longsoran puing vulkanik terutama daerah lereng.
 
Daerah yang termasuk kawasan bahaya I adalah Desa Dano, Jangkurang, Lembang, Cipancar, Kandang Mukti, Ciburial, Salam Nunggal, Haruman, Leles, Cangkuang, Margaluyu di Kecamatan Leles. Desa Ranca Salak, Mandalasari, Neglasari, Karang Mulya, Karang Tengah, Ganda Mekar, Kadungora, Cisaat, Cikembulan, Neglasari, di Kecamatan Kadungora. Desa Sukakarya, Sukaraja, Pamekarsari, Suka Senang di Kecamatan Banyuresmi. Desa Haur Panggung, Sukajadi, Sukakarya di Kecamatan Tarogong Kidul. Desa Jaya Raga, Pataruman, Tarogong, Jayawaras, Sukajaya, Mekargalih, Sukagalih, Rancabango, Mekarwangi di Kecamatan Tarogong Kaler. Desa Cinta Rakyat, Sirna Sari, Samarang, Cintaasih, Sukalaksana, Sukakarya, Parakan, Tanjung Karya, Cisarua, Cintarasa di Kecamatan Samarang, dan Desa Sukamantri di Kecamatan Garut Kota.
 
Daerah bahaya II adalah daerah yang berpotensi terlanda awan panas, aliraan lava, longsoran puing vulkanik, lontaran batu (pijar),hujan abu lebat,lahar. Daerahnya meliputi Desa Tanjung Karya di Kecamatan Samarang, Desa Sukawangi di Kecamatan Tarogong Kidul, Desa Mekarjaya, Sirnajaya, Rancabango, Langensari, Simanganten, Tarogong, Jati, Tanjung Kamuning (di Kecamatan Tarogong Kaler, Desa sukasenang, Pananjung, Pasawahan, di Kecamatan Banyuresmi, dan Desa Haruman,Dano di Kecamatan Leles.
 
Di sebelah kanan terdapat Gunung Picung, gunung yang tadi pagi kami daki. Lereng curamnya seakan menemani kami menuju puncak Guntur. Hijaunya hutan Gunung Picung seakan membuat iri Gunung Guntur yang gersang. Dengan gunung ini dipisahkan oleh jurang-jurang yang terjal.
 
Semakin ke atas lerengnya semakin curam dan puncaknya seolah-olah semakin jauh. Stres? Tidak, meskipun dengan sisa tenaga. Satu pohon rasamala yang hanya dijadikan tambatan. Pasirnya semakin terbuka. Krikil-krikil yang labil di bawah kaki sering membuat kami terperosok.
 
Vegetasi edelweiss malu-malu berada di balik semak-semak yang tinggi. Ternyata disini juga ada edelweissnya meskipun dalam jumlah yang sedikit.
 
Sungguh fatamorgana,teman-teman yang menunggu di bawah semakin lam a semakin kecil, Hanya syal Jantera yang berwarna orange yang tampak mencolok. Puncaknya tidak sampai-sampai juga. Untuk melepaskan kelelahan seperti biasa berbalik ke arah hamparan Kabupaten Garut.
 
Pukul 15.30 akhirnya kami baru sampai di puncak. Hujan deras menyambut kami, kabut menyelimuti puncak Gunung Guntur, jarak pandang hanya beberapa meter.
 
Kami tidak sempat melihat kawahnya, hanya tampak samar-samar asapnya. Kami juga tidak bisa melihat indahnya bentangan alam sekitarnya dari puncak Guntur karena tertutup kabut dingin dan pekat. Setelah puas berfoto-foto untuk mengabadikan perjalanan kami langsung turun.
 
Turun dari gunung Guntur, sungguh tantangan tersendiri, topografi yang curam dengan material pasir membuat kami sering terperosok. Apalagi tidak ada pohon tinggi untuk pegangan. Satu-satunya yang dapat dijadikan pegangan adalah ilalang yang panjang hampir satu meter itu.
 
Turunnya cepat hanya menempuh satu jam. Hujan tidak berhenti mengguyur kami, tapi tidak mengapa karena pengalaman di Gunung Guntur telah didapat. Bahkan dalam satu kesempatan tiga gunung terlewati, Pasir Cileungsing, gunung Pucung, dan gunung Guntur.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat