kievskiy.org

Riwayat Koran Sinar Pasoendan: Jejak Pers Sunda Mengkritik Pemerintah Kolonial Belanda

Koran Sinar Pasoendan yang rajin mengkritik pemerintahan kolonial Belanda.
Koran Sinar Pasoendan yang rajin mengkritik pemerintahan kolonial Belanda. /Tangkapan layar Koran Sinar Pasoendan terbitan 21 Desember 1934

PIKIRAN RAKYAT - Keberadaan surat kabar berbahasa Sunda turut mewarnai sejarah pers di negeri ini. Selain Sipatahoenan, ada juga koran Sinar Pasoendan yang setia memakai bahasa Ibu urang Sunda dalam tulisan-tulisannya. Dengan menggunakan bahasa daerah, koran itu banyak mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Bertarikh 21 Desember 1934, artikel berjudul Larangan njieun pangeling-pangeling di halaman depan Sinar Pasoendan cukup bisa membuat merah kuping pemerintah kolonial. Dalam artikel tersebut, Sinar Pasoendan mengkritik larangan pendirian tugu dalam Kongres Boedi Oetomo pada 24 dan 25 Desember 1934 di Solo. Tugu tersebut didirikan sebagai pengingat 25 tahun munculnya pergerakan Indonesia

Tugu peringatan kaum pergerakan Indonesia tersebut sudah nyaris rampung dan dipasang di tegel. Namun larangan muncul dari tuan resident di lokasi kegiatan. Larangan terkait erat dengan pertimbangan pemerintah kolonial yang menilai aktivitas semacam itu mengganggu ketentraman. 

"Djadi pondokna bae timbanganana teh teu sak deui moal gagal, bisi ku ajana eta adegan pengeling-ngeling teh timboel rasa dina sanubarina saumumna rakjat Indonesia anu sakira henteu matak njoegemakeun kana kaajaanana Nagara (Jadi pertimbangan pendek dari pelarangan itu, sudah jelas karena kekhawatiran pemasangan tugu bisa berdampak pada sanubari rakyat Indonesia yang membuat hal tak menyenangkan bagi pemerintah kolonial)," tulis Sinar Pasoendan.

Baca Juga: 10 Ucapan Hari Valentine Bahasa Inggris, Bisa Buat Pasangan Jatuh Cinta Lagi

Koran itu pun melancarkan kritiknya dengan mengutip pernyataan Gubernur Jenderal de Graeff kala serah terima jabatan menggantikan  Dirk Fock. Saat itu de Graeff menyebut dirinya bukan Belanda yang sejati jika tidak menghormati rasa kebangsaan kaum bumiputera. 

"Ongkoh dihormat tapi ajeuna rasa eta rek dikedalkeun njaeta ku ngadjirimkeun adegan pangeling-ngeling tea, bet dilarang (Katanya dihormati, tetapi sekarang rasa kebangsaan itu mau diwujudkan dengan pendirian tugu,malah dilarang)."

Begitulah salah satu contoh pemberitaan Sinar Pasoendan yang terbilang kritis. Berbalut bahasa Sunda, pesan-pesan tulisan itu tetap nyaring mengkritik penguasa. Dalam tulisan lain, koran tersebut juga mempertanyakan jomplangnya gaji ambtenaar (pegawai) Eropa dan bumiputra (pribumi) pada terbitan 14 Desember 1934. Sinar Pasoendan menulis judul  artikel itu di halaman utamanya, Timbangan noe pintjang. Kasus di daerah  yang diberitakan media massa lain juga kena sentil Sinar Pasoendan. 

Baca Juga: Soroti Polemik Ucapan KSAD Dudung, Haikal Hassan: TNI dan Ulama Harus Sering Silaturahmi

Dalam terbitan 8 November 1934, koran itu mengutip pemberitaan BT, yang diduga inisial surat kabar Bintang Timoer tentang penahanan dua penghulu selama 3 hari 3 malam di tangsi veld politie Batusangkar, Sumatera Barat. Keduanya ditahan karena tuduhan mencuri. Namun, tuduhan itu tak terbukti dan mereka pun disuruh pulang. Ihwal persoalan muncul karena kedua penghulu merasa dipermalukan lantaran dibelenggu/dirantai serta dijebloskan ke tahanan. Penggunaan rantai terhadap kedua bumiputera itu jadi sasaran kritik Sinar Pasoendan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat