kievskiy.org

Walhi Jabar Kritik PTPN VIII Gunung Mas Soal Penggunaan Lahan untuk Wisata yang Picu Bencana dan Krisis Air

Ilustrasi kekeringan.
Ilustrasi kekeringan. /ANTARA/Rahmad

PIKIRAN RAKYAT - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat mengkritik ‎PTPN VIII Gunung Mas, Kabupaten Bogor yang saat menuju habisnya Hak Guna Usaha (HGU) malah makin menabrak kaidah-kaidah lingkungan. Hal itu dilakukan melalui skema kemitraan atau kerja sama operasional dengan pihak swasta untuk pemanfaatan lahan HGU.

Skema pemanfaatan lahan tersebut dinilai malah menjadi alih fungsi lahan melalui pembangunan lokasi wisata atas dalih kerja sama yang kemudian merubah fungsi-fungsi ekologis. Hal tersebut berdampak buruk pada masyarakat dengan berujung bencana, krisis sumber daya air dan lainnya. Dalam regulasi tata ruang wilayah kota disebutkan, kawasan Kecamatan Cisarua menjadi kawasan penting yang ada dalam Perpres Nomor 60 tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Kawasan Kecamatan Cisarua masuk ke dalam Zona L4 sebagai kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.

Kecamatan Cisarua itu menjadi wilayah penting sebagai imbuhan mata air bagi wilayah lain seperti, Bekasi dan kota Bogor. "Selain itu, wilayah Kecamatan Cisarua termasuk ke dalam Zona B1-B6 dari mulai zona dengan daya dukung lingkungan yang tinggi hingga wilayah daya dukung lingkungan yang rendah atau wilayah daerah resapan air dan daerah dukung untuk Zona L1 sebagai resapan air. Ini menjadi alasan mengapa Kawasan Cisarua harus terjaga dalam tatanan lingkungan hidupnya sebelum berujung bencana ekologis di musim penghujan atau kesulitan air di musim kemarau jika vegetasinya di rusak dan alih fungsi lahan menjadi bangunan-bangunan dengan beton itu dilakukan terus-menerus akan mengganggu wilayah resapan air yang menjadi sumber daya paling penting untuk masyarakat Cisarua maupun daerah yang disokong oleh wilayah Puncak sekitarnya,” kata Dani Setiawan, Staf Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat dalam keterangan tertulis lembaga itu, Senin, 29 Januari 2024.

Bencana ekologis juga tidak terpisahkan juga dengan wilayah Puncak saat musim penghujan di akhir tahun 2023 hingga bulan pertama pada 2024. Hal tersebut disayangkan lantaran terjadi di wilayah yang secara geografis didukung oleh wilayah hutan konservasi yang ada pada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar Haerudin Inas mengatakan, bencana ekologis adalah bencana yang terjadi disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Bencana ekologis yang terjadi di kawasan Puncak (Cisarua), lanjutnya, sangat kuat dipengaruhi oleh aktivitas alih fungsi lahan di kawasan perkebunan dengan HGU dipegang oleh PTPN VIII Gunung Mas. Perubahan kebun menjadi lokasi-lokasi wisata akan menutup daerah resapan air, merusak lanskap tanah sehingga mengurangi daya dukung dan daya tampung wilayah tersebut. Kondisi itu kemudian menyebabkan potensi pergerakan tanah, banjir, bahkan menurut masyarakat lokasi-lokasi wisata yang ada di Puncak hadir sekaligus merusak dan menghilangkan sumber-sumber mata air.

Dari pengamatan langsung Walhi Jabar bersama warga masyarakat kecamatan Cisarua yang tergabung dalam Karukunan Warga Puncak (KWP) menunjukkan terjadinya alih fungsi lahan perkebunan yang dirusak vegetasinya. Setelah itu, diubah menjadi bangunan-bangunan dengan beton yang luas dan menutupi tanah yang ada dalam kemiringan-kemiringan di sepanjang jalur Puncak.

Dengan skema dalih pemanfaatan lahan melalui kerja sama operasional tersebut, Walhi menilai, sudah banyak berdiri lokasi wisata yang merubah lanskap wilayah perkebunan teh menjadi bangunan-bangunan yang merusak kaidah lingkungan hidup di wilayah Puncak. Imbas yang terjadi kemudian adalah banjir lumpur, longsor serta‎ mengganggu dan menghilangkan sumber-sumber mata air bagi masyarakat. Dari aspek sosialnya, masyarakat pun kerap dipersulit akibat kegiatan wisata yang kerap menutup jalan akses warga.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat